Lombok Barat, PolitikNTB.com–Bila Aristoteles turut menyaksikan realitas politik di Nusa Tenggara Barat (NTB) dewasa ini, mungkin ia semakin mengernyitkan alisnya.
Menurutnya, demokrasi bukan hanya tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, melainkan tentang pengelolaan kehendak bersama untuk kebaikan publik. Demokrasi ideal, menurut sang filsuf, adalah seni menjaga keseimbangan, agar tidak jatuh dalam tirani mayoritas maupun terjebak dalam anarki minoritas.
Namun kenyataannya berbicara berbeda. Di NTB, pemilu sering kali kehilangan ruh liberatif–deliberatifnya. Bukti konkret terlihat dari tingginya kerawanan politik uang.
Bawaslu NTB mengklasifikasikan provinsi ini sebagai “kategori sedang” dalam potensi money politik, dengan skor 2,78, berdampingan dengan 28 provinsi lainnya.
Ratusan TPS di berbagai tempat pada penyelenggaraan Pilkada kemarin juga diidentifikasi rawan praktik tersebut, ada 249 TPS yang dipetakan sebagai titik merah potensial.
Ini memperkuat gambaran bahwa demokrasi kita rentan terdegradasi menjadi arena transaksi, bukan proses kebebasan.
Lebih jauh, angka sengketa pemilu juga mencerminkan problem substansial. Sengketa caleg 2024 yang berujung ke ranah hukum bukan selalu tentang membenahi ketidakadilan, tetapi lebih sering menjadi strategi mempertahankan kursi.
Dalam pendekatan Aristoteles, ini menunjukkan bahwa politik kita belum sepenuhnya dewasa, NTB masih tergelincir ke wilayah intrik prosedural, bukan dialog ide.
Lebih memprihatinkan lagi, selama kampanye Pilkada serentak 2024, Bawaslu mencatat setidaknya 16 dugaan pelanggaran, di antaranya kampanye di tempat ibadah, netralitas ASN, hingga intimidasi warga di beberapa kabupaten.
Indikasi tersebut terjadi mulai dari kota Mataram hingga Lombok Timur serta Dompu dan Bima. Fakta yang makin menegaskan bahwa fungsi pemilu yang sejatinya sebagai pelembagaan demokrasi dirusak oleh pendekatan oportunistik.
Aristoteles menegaskan pentingnya komunitas politik yang membina kebajikan. Ide yang juga ditegaskan kembali oleh Bung Hatta, bahwa partai politik yang jadi instrumen pragmatis bukan kendaraan pendidikan politik, melainkan memudarkan karakter politik. Ia memperingatkan bahwa ketika orang berpolitik semata demi jaminan pribadi, demokrasi akan terjerumus menjadi oligarki egois.
Pendirian partai politik berdasarkan Maklumat Bung Hatta pada 3 November 1945 dirancang agar partai bisa menjadi wadah mengartikulasikan ideologi dan membumikan demokrasi secara sadar dan bertanggung jawab. Namun, di NTB masa kini, maklumat tersebut semakin kehilangan ruh, sebab banyak partai lebih menyerupai agen kalkulatif.
Partai hanya muncul saat musim Pemilu, lalu menghilang pasca kemenangan. Praktik ini mereduksi demokrasi jadi kompetisi kursi, bukan ruang transformasi politik masyarakat.
Sengketa pemilu yang banyak sampai ke meja Mahkamah Konstitusi dan politik uang di yang massif pada penyelenggaraan Pemilu yang lalu, adalah alarm.
Padahal, Provinsi ini, sama seperti daerah lain di Indonesia, memiliki modal masyarakat yang kuat, kultur musyawarah, toleransi, bahkan warisan nilai ke-Islaman yang egaliter. Namun realitas yang terjadi saat Pemilu sering kali sangat jauh dari nilai-nilai itu.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah kita rela membiarkan Pemilu jadi kompetisi memperebutkan kursi saja? Padahal sejatinya, NTB punya potensi menjadikan Pemilu lebih dari ritual transformasi kekuasaan, melainkan arena di mana rakyat bersama-sama merumuskan arah masa depannya.
Oleh: Tim Redaktur
0Komentar