TpdoGSGpGSriTfMlGpGlBSziTY==
Light Dark
Pengamat Kebijakan Publik Sebut Seleksi Perangkat Kewilayahan Desa Banyu Urip Bermasalah

Pengamat Kebijakan Publik Sebut Seleksi Perangkat Kewilayahan Desa Banyu Urip Bermasalah

Daftar Isi
×

 

Skema Penilaian Seleksi Peangkat Kewilayahan Desa Banyu Urip yang Dinilai Cacat Administratif

Indikasi Pelanggaran Hukum Administrasi Mengemuka

Mataram, PolitikNTB.Com-Seleksi perangkat kewilayahan Desa Banyu Urip, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, menuai sorotan tajam. Indikasi penyimpangan prosedur dan dugaan pelanggaran hukum administrasi menguat, terutama pada tahap wawancara yang seharusnya dijalankan dengan standar jelas sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 9 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

Peraturan bupati ini secara eksplisit menegaskan kewajiban panitia dan fasilitator untuk berpegang pada aturan baku. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan praktik berbeda. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang cenderung subjektif, tanpa indikator terukur, bahkan mengabaikan aspek yang secara hukum diwajibkan.

Landasan hukum sebenarnya sangat jelas. Pasal 29 peraturan bupati tersebut menyebutkan bahwa materi ujian wawancara bagi calon perangkat desa meliputi pengetahuan umum pemerintahan desa, pengetahuan umum pemerintahan daerah, serta wawasan kebangsaan.

Sementara itu, Pasal 30 ayat satu menegaskan bahwa hasil seleksi ditentukan berdasarkan tes tertulis, sertifikat pengalaman organisasi, dan wawancara sebagaimana dimaksud dalam pasal sebelumnya.

Dengan demikian, hukum positif secara tegas menetapkan tiga komponen penilaian yang harus diakui dan dijalankan. Sertifikat organisasi adalah indikator formal yang wajib dinilai, sedangkan wawancara harus berisi substansi pemerintahan desa, pemerintahan daerah, dan wawasan kebangsaan.

Namun, penyelenggaraan seleksi di Banyu Urip justru mengabaikan komponen tersebut. Penilaian wawancara berlangsung tanpa standar objektif, sementara keberadaan sertifikat pengalaman organisasi nyaris tidak diperhitungkan sama sekali.

Pengamat Kebijakan Publik Fauzi Aries menilai bahwa tindakan fasilitator dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa atau onrechtmatige overheidsdaad. Ia menyebut sedikitnya ada tiga bentuk pelanggaran yang nyata.

Pertama adalah tindakan melampaui wewenang atau detournement de pouvoir. Fasilitator hanya diberi wewenang melakukan wawancara dengan indikator yang sudah ditentukan dalam pasal yang relevan. Ketika wawancara berubah menjadi pertanyaan subjektif di luar konteks regulasi, maka jelas terjadi tindakan melampaui kewenangan.

Kedua adalah penyalahgunaan wewenang. Penilaian wawancara dilakukan dengan semaunya tanpa standar, mengabaikan indikator objektif yang seharusnya menjadi rujukan. Hal ini menunjukkan adanya penyalahgunaan diskresi oleh pejabat yang seharusnya menjaga keadilan dan kepastian hukum.

Ketiga adalah perbuatan melanggar hukum. Fakta pengabaian Pasal 29 dan Pasal 30 Peraturan Bupati Nomor 9 Tahun 2017 mengindikasikan pelanggaran hukum positif. Selain itu, tindakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam undang-undang tersebut, Pasal 17 ayat dua melarang pejabat administrasi melakukan penyalahgunaan wewenang, melampaui wewenang, atau bertindak sewenang-wenang. Sementara Pasal 10 ayat satu menegaskan bahwa setiap keputusan atau tindakan administrasi harus sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Fauzi Aries

Jika dikaitkan dengan asas umum pemerintahan yang baik, setidaknya ada tiga asas yang dilanggar, yakni asas kepastian hukum, asas kecermatan, dan larangan menyalahgunakan wewenang.

Dengan adanya pelanggaran tersebut, hasil seleksi di Desa Banyu Urip secara hukum berpotensi cacat administrasi. Keputusan yang lahir dari proses yang tidak sah dapat dinyatakan batal melalui mekanisme keberatan administrative.

Peserta yang dirugikan memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut pembatalan hasil seleksi. Bahkan, jika pemerintah daerah tetap mengesahkan keputusan berdasarkan proses yang cacat, potensi sengketa hukum akan semakin besar.

Masyarakat sendiri menilai bahwa praktik seleksi di Banyu Urip mencederai prinsip transparansi dan keadilan. Kecurigaan menguat bahwa seleksi tidak lagi soal kompetensi, melainkan lebih kepada subjektivitas penilai. Hal ini mengikis kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan desa.

“Kalau aturan sudah ada tapi tidak dijalankan, maka itu bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan pelecehan terhadap hukum,” tegas Fauzi Aries. Ia menambahkan, bila kondisi seperti ini dibiarkan, maka posisi hukum warga desa akan semakin lemah di hadapan kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang.

Dari hasil penelusuran ini dapat disimpulkan bahwa kasus seleksi perangkat kewilayahan Desa Banyu Urip memperlihatkan adanya penyimpangan nyata dari Peraturan Bupati Nomor 9 Tahun 2017 serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Indikasi pelanggaran hukum administrasi meliputi tindakan melampaui wewenang, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan melanggar hukum yang bertentangan dengan asas kepastian hukum serta asas kecermatan.

Dengan demikian, keabsahan hasil seleksi patut dipertanyakan secara hukum. Kasus ini bukan sekadar soal teknis seleksi perangkat desa, melainkan persoalan serius terkait integritas pemerintahan dan kepatuhan pejabat terhadap hukum.

Jika dibiarkan, praktik serupa bisa meluas ke desa-desa lain, memperkuat budaya hukum yang lemah, serta memperburuk kualitas demokrasi lokal.

 

0Komentar

Special Ads