Oleh: Pengamat Politik Basriadi Sasaki
Lombokbarat,PolitikNTB.com– Kita masih ingat suasana Pilkada Bupati Lombok Barat terakhir. Jalan-jalan penuh baliho, tiap dusun ada posko pemenangan, dan grup WhatsApp rame dengan foto calon bupati. Relawan bekerja siang malam, mengetuk pintu rumah, mengajak warga datang ke TPS, dan meyakinkan orang bahwa calon yang mereka dukung adalah harapan baru.
Saya tidak menutup mata, tanpa relawan dan tim sukses, mustahil rasanya calon bupati bisa menang. Mereka adalah denyut nadi pemenangan. Tapi saya juga percaya, tugas mereka harusnya selesai ketika suara sudah dihitung, dan bupati terpilih resmi dilantik.
Masalahnya di Lombok Barat, itu tidak terjadi. Relawan tidak bubar. Mereka 'berganti seragam' dari relawan lapangan menjadi buzzer.
Buzzer adalah orang atau kelompok yang secara sengaja, biasanya dibayar atau diberi fasilitas, untuk membentuk opini publik di media sosial demi kepentingan pihak tertentu.
Tugas mereka bukan lagi mengajak orang memilih, tapi menjaga citra bupati pasca-pilkada. Caranya? Menggiring isu, memuji kebijakan secara membabi buta, dan menyerang siapa pun yang mengkritik.
Di tingkat pusat, buzzer ini sudah jadi rahasia umum sejak era Pilpres. Beberapa lembaga penelitian di bidang kebijakan publik mengungkap buzzer politik punya pola kerja terstruktur, membangun narasi positif untuk penguasa, mengalihkan perhatian publik dari isu sensitif, dan menyerang kredibilitas lawan politik.
Saya melihat beberapa mantan relawan, sekarang aktif di media untuk mengamankan citra bupati. Setiap ada kritik akan langsung muncul komentar bernada sinis. Ini bahaya sekali untuk demokrasi.
Kenapa berbahaya? Pertama, buzzer mematikan diskusi publik. Warga jadi takut mengkritik karena khawatir diserang.
Kedua, buzzer memelihara loyalitas buta. Kebijakan tidak lagi diukur dari manfaat atau kerugiannya, tapi dari siapa yang mengeluarkannya.
Ketiga, buzzer mengkhianati semangat relawan. Relawan adalah kekuatan rakyat yang seharusnya independen. Begitu mereka berubah jadi buzzer, mereka bukan lagi suara rakyat, melainkan corong kekuasaan.
Di Lombok Barat, kita sering bangga menyebut pemerintahan ini transparan. Tapi bagaimana mungkin transparan kalau kritik langsung dibungkam oleh pasukan digital? Bagaimana rakyat bisa mengawasi kalau setiap suara yang berbeda diarahkan untuk diam?
Jadi, relawan harus kembali sebagai warga biasa setelah pilkada. Kepala daerah juga harus berani menghentikan praktik memelihara buzzer. Pemerintah cukup mengandalkan humas resmi yang transparan dan akuntabel, bukan pasukan maya yang kerjanya menutupi kelemahan.
Kalau kita membiarkan ini berlanjut, Lombok Barat hanya akan punya demokrasi semu, pilkada berjalan, bupati dilantik, tapi ruang publik dikuasai oleh buzzer. Tidak ada keseimbangan, tidak ada keberanian untuk dikritik.
Dan saya, sebagai warga Lombok Barat, menolak hidup di bawah pemerintahan yang menganggap kritik sebagai musuh, dan buzzer sebagai tameng.
0Komentar