TpdoGSGpGSriTfMlGpGlBSziTY==
Light Dark
Ulama di Dua Dunia (Kisah Tuan Guru Hardiyatullah Menjembatani Politik dan Pesantren)

Ulama di Dua Dunia (Kisah Tuan Guru Hardiyatullah Menjembatani Politik dan Pesantren)

Daftar Isi
×

Lombokbarat, PolitikNTB.COM- Sore, (14/8/25) kami berkesempatan mengunjungi Tuan Guru Hardiyatullah di kediamannya yang berada di Dusun Bermi Desa Babussalam Keamatan Gerung.

Tuan Guru Hardi merupakan satu dari sedikit tokoh di Lombok Barat yang mampu menjaga pengaruh di dua arena yang tak jarang bersinggungan, pesantren dan politik.

Tiga periode berturut-turut terpilih menjadi anggota DPRD Lombok Barat dan kini duduk di kursi pimpinan dewan, tak membuatnya terlena, ia tetap mengasuh pesantren yang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan di daerahnya.

Kepada PolitikNTB.com, ia mengisahkan keputusan untuk masuk ke politik diambilnya pada 2011, segera setelah pulang dari Libya. Langkah itu ia sebut sebagai perpanjangan tangan dakwah, bukan sekadar pilihan karier.

Dikisahkan, masa belajarnya di Libya meninggalkan kesan yang dalam. Negara itu, pada awal ia tiba, berada dalam kondisi stabil dan makmur. Mahasiswa asing, termasuk dari Indonesia, mendapatkan beasiswa penuh, biaya kuliah, tempat tinggal, hingga kebutuhan sehari-hari ditanggung pemerintah. Apartemen yang ia tinggali berada di kawasan aman, dengan fasilitas memadai, sehingga waktu dan tenaga sepenuhnya bisa dicurahkan untuk belajar.

Libya saat itu adalah salah satu pusat pendidikan tinggi di Afrika Utara, dengan sistem yang memanjakan para pelajar.

"Saya berencana di sana sampai S-3 (strata tiga), karena nyaman dan tidak ribet," katanya.

Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Muammar Gaddafi, pemimpin Libya, menolak tunduk pada tekanan negara-negara Barat. Penolakan tersebut memicu intervensi yang berujung pada kehancuran negara. Sistem pendidikan yang dulu membanggakan hancur, infrastruktur porak-poranda, dan hingga kini Libya masih berusaha bangkit dari keterpurukan.

Fakta tersebut membuat Tuan Guru dan ratusan pelajar lain asal Indonesia terpaksa pulang ke Indonesia.

"Saya selesaikan pendidikan saya di Jakarta," ungkapnya.

Sepulang ke Lombok Barat, Tuan Guru Hardiyatullah menghadapi realitas lain, bahwa pesantren kerap dijadikan lumbung suara oleh politisi. Banyak yang datang menjelang pemilu untuk menggalang dukungan, lalu menghilang setelah kontestasi usai. Menurutnya, hal ini hanya bisa diubah jika ulama mau masuk ke sistem, memperjuangkan aspirasi umat dari dalam.

Ia juga teringat pesan ayahnya saat kecil, ketika ia dan kakaknya menyantap telur. Kakaknya hanya mengambil 'kuningnya', sementara ia menyantap kuning dan putih telur sekaligus. Sang ayah menafsirkan itu sebagai tanda ia akan bermanfaat “di dalam” dan “di luar”. Ia kemudian memaknainya sebagai peran di dalam pesantren dan di luar melalui politik.

"Kamu bisa di luar dan bisa di dalam nanti," kenangnya menirukan kalimat ayahanda.

Namun jalan yang Tuan Guru Hardi pilih tidak mudah. Dunia politik dipenuhi intrik, negosiasi, dan strategi, sesuatu yang bertolak belakang dengan budaya pesantren yang mengutamakan kesabaran, kerendahan hati, dan sikap memaafkan.

Ia menyadari ada benturan nilai di sana. Tetapi ia juga percaya harmoni antara keduanya bukan hal mustahil. Di DPRD ia berperan mendorong kebijakan dan anggaran yang berdampak langsung bagi masyarakat, sementara di pesantren ia memelihara ruh dakwah yang membentuk karakter dan niat tulus.

"Banyak yang bilang, nanti tidak fokus urus pesantren. Biasanya dari lawan-lawan politik," terangnya.

Bagi Tuan Guru, politik bukanlah tempat untuk meninggalkan nilai pesantren, melainkan ladang baru untuk mengujinya.

Kesibukannya di DPRD tidak membuat pesantren terabaikan. Ia tetap memimpin pengajian, menerima tamu jamaah, dan memantau kegiatan santri. Ia menyebut semua itu sebagai bentuk ibadah sosial.

Hal tersebut PolitikNTB.com alami langsung, bagaimana Tuan Guru disela diskusi kedatangan beberapa tamu yang beragam, mulai dari Kepala Dusun, tokoh agama dan ustadz dengan beragam tujuan yang pada prinsipnya mengarah pada keinginan mereka melibatkan Tuan Guru dalam aktivitas sosial dan keagamaan.

Dijelaskan juga, dengan ia duduk sebagai legislator, aspirasi yang disampaikan warga bisa dibawa ke meja rapat dewan, memperjuangkannya hingga masuk dalam program pemerintah. Hasilnya, beberapa pesantren mendapat bantuan dan kegiatan keagamaan memperoleh dukungan fasilitas.

Langkah ini sekaligus menjadi jawaban bagi kritik lawan politik yang menudingnya lalai sebagai ulama. Ia berpegang pada prinsip bahwa kinerja yang terlihat adalah jawaban terbaik.

Pengaruhnya di Lombok Barat tidak hanya bersandar pada popularitas sebagai tokoh agama, tetapi juga pada rekam jejak konsistensi dan kemampuan membangun jaringan lintas kelompok.

Dalam peta politik, sosok seperti Tuan Guru Hardiyatullah menjadi representasi bahwa ulama-politisi memiliki daya tawar tinggi. Ia mampu menggabungkan legitimasi moral yang lahir dari pesantren dengan kapasitas politik yang dibangun di parlemen.

Di mata sebagian masyarakat, kombinasi ini memberi rasa aman, mereka mendapatkan pemimpin yang dianggap memahami kebutuhan spiritual sekaligus realitas ekonomi dan sosial.

Namun keberhasilan itu tidak lepas dari tantangan. Masuknya ulama ke ranah politik sering menimbulkan skeptisisme, bahkan dari sesama kalangan agama. Ada kekhawatiran bahwa politik akan mengikis keikhlasan, atau bahwa kompromi yang diperlukan dalam arena legislatif akan melemahkan prinsip.

Tuan Guru Hardi menanggapinya dengan konsep dakwah bil hal, menunjukkan manfaat melalui tindakan nyata, bukan hanya kata-kata. Ia menganggap ceramah dapat menyentuh hati, tetapi kebijakan yang tepat bisa mengubah hidup orang.

Bagi Tuan Guru, keberadaannya di DPRD adalah perpanjangan dari mimbar pesantren. Di sana ia berbicara bukan hanya kepada santri, tetapi kepada pembuat keputusan, pemegang anggaran, dan pemilik wewenang. Dan ia meyakini, di zaman yang kompleks ini, keberadaan ulama di ranah politik adalah kebutuhan, bukan pilihan.

Pesantren telah membekalinya dengan kesabaran dan keikhlasan, politik memberinya ujian untuk mempertahankannya. Ia melihat keduanya bukan sebagai dua dunia yang terpisah, melainkan sebagai dua sisi dari jalan pengabdian yang sama.

0Komentar

Special Ads