TpdoGSGpGSriTfMlGpGlBSziTY==
Light Dark
Demokrasi Indonesia, Jalan Tengah antara Keadilan, Kebebasan, dan Moralitas

Demokrasi Indonesia, Jalan Tengah antara Keadilan, Kebebasan, dan Moralitas

Daftar Isi
×

 




Oleh: Basriadi (Pengamat Politik STISDA)

Lombok Barat, PolitikNTB.Com-Demokrasi adalah sebuah janji, sebuah kesepakatan yang kita ucapkan dengan penuh keyakinan sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 1945. Kita memilih demokrasi bukan karena ikut-ikutan, bukan pula karena tekanan dari luar, melainkan karena kesadaran bahwa hanya dengan demokrasi bangsa ini dapat menjaga keberagamannya, menghormati martabat warganya, dan membangun masa depan yang lebih adil.

Namun, lebih dari tujuh puluh tahun setelah janji itu diumumkan, kita masih sering merasa seperti sedang berjalan di tempat. Demokrasi hadir dalam simbol, hadir dalam ritual lima tahunan, hadir dalam pidato pejabat yang selalu mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari, janji demokrasi itu terasa seperti fatamorgana. Ia tampak indah dari jauh, tetapi ketika didekati, lenyap ditelan pasir politik uang, intrik kekuasaan, dan pragmatisme yang kering nilai.

Sejak awal, tiga tokoh bangsa sudah memberi arah. Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dan Haji Agus Salim, masing-masing dengan pandangan yang berbeda, telah menanamkan fondasi bagaimana demokrasi seharusnya berjalan di Indonesia. Mereka tidak bicara abstrak. Mereka bicara dari kedalaman pengalaman, dari luka penjajahan, dari kegelisahan melihat bangsa yang baru merdeka berisiko terjebak dalam jebakan baru, yakni ketidakadilan, otoritarianisme, dan kehilangan moral.

Hatta menegaskan bahwa demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi hanyalah pepesan kosong. Ia tahu betul, rakyat tidak akan merasa merdeka bila hanya diberi kesempatan memilih lima tahun sekali, sementara perut mereka tetap lapar. Demokrasi bukan sekadar hak suara, melainkan juga hak untuk hidup layak. Maka ia memperkenalkan koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional.

Gagasan itu bukan romantisme, melainkan strategi untuk mencegah lahirnya kesenjangan baru di antara rakyat. Namun apa yang terjadi hari ini? Koperasi memang masih disebut dalam undang-undang, tetapi di banyak tempat ia hanya jadi papan nama. Ekonomi kita cenderung dikuasai segelintir orang. Sektor-sektor vital jatuh ke tangan korporasi besar.

Rakyat kecil tetap harus berjuang sendirian, seringkali tanpa perlindungan. Dalam konteks inilah peringatan Hatta masih relevan, bahwa demokrasi yang tidak berpihak pada rakyat miskin hanyalah pesta formalitas yang membius sementara. Demokrasi tidak boleh berhenti di kotak suara, ia harus hadir di meja makan.

Sementara itu, Sutan Syahrir mengingatkan dimensi yang lain, adanya kebebasan dan martabat manusia. Syahrir, dengan latar belakang sebagai intelektual dan sosialis muda, melihat demokrasi bukan sekadar angka kursi di parlemen. Demokrasi, katanya, adalah penghormatan pada kebebasan berpikir, pada keberanian untuk berbeda, pada ruang untuk mengkritik. Demokrasi yang sehat adalah yang memberi tempat pada suara minoritas, bukan hanya suara mayoritas. Demokrasi adalah keberanian untuk membiarkan orang berseberangan, untuk menerima bahwa dalam masyarakat yang bebas, tidak semua orang harus sejalan.

Namun bagaimana kondisi hari ini? Suara kritis sering dipersepsikan sebagai ancaman. Oposisi dalam sistem politik formal nyaris tidak terdengar. Di ruang publik, terutama di media sosial, orang lebih sering memilih diam daripada berisiko di-bully atau dicap pembangkang. Demokrasi kita makin terasa seperti ruang tamu keluarga besar, di mana semua orang dituntut akur, tidak boleh ribut, tidak boleh berbeda. Padahal, demokrasi tanpa kebebasan sama saja dengan panggung kosong yang hanya dihuni boneka. Apa artinya rakyat diberi hak memilih jika setelah itu mereka tidak boleh mengkritik? Apa artinya kebebasan berpendapat bila suara berbeda selalu dianggap ancaman? Pesan Syahrir di sini jelas, yaitu demokrasi bukan sekadar prosedur, tetapi juga nyali untuk menjaga kebebasan.

Di sisi lain, Haji Agus Salim menekankan aspek moralitas. Ia percaya demokrasi tanpa moral akan berubah menjadi sekadar perebutan kekuasaan yang penuh intrik dan tipu-menipu. Demokrasi bukan hanya soal angka dan hitungan suara, melainkan juga soal akhlak, etika, dan keadaban. Agus Salim mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia harus berakar pada agama, pada budaya musyawarah, pada penghormatan terhadap nilai-nilai moral. Ia tahu, politik tanpa moral akan menghasilkan politisi yang lihai memainkan kata-kata tetapi miskin integritas.

Dan lihatlah realitas hari ini. Politik uang sudah dianggap lumrah. Janji-janji kosong menjadi hiasan rutin dalam setiap kampanye. Rakyat sering kali menerima sembako atau sejumlah uang kecil, seolah itu adalah harga wajar untuk suara mereka. Padahal, di balik itu semua, demokrasi sedang terdegradasi menjadi transaksi murahan. Agus Salim tentu akan menyesali ini. Demokrasi yang ia bayangkan adalah demokrasi yang beradab, bukan demokrasi yang digerogoti pragmatisme. Demokrasi yang tumbuh dengan akhlak, bukan demokrasi yang dikendalikan kalkulator elektoral.

Tiga tokoh bangsa: Moehammad Hatta, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim

Ketiga tokoh ini, dengan pandangan yang berbeda, justru membentuk satu kesatuan utuh. Hatta berbicara tentang keadilan ekonomi, Syahrir menekankan kebebasan, dan Agus Salim menuntut moralitas. Jika ketiga pilar ini dijalankan bersama, demokrasi Indonesia akan menemukan bentuknya sendiri. Demokrasi yang tidak sekadar meniru Barat, tetapi demokrasi yang sesuai dengan jiwa bangsa. Demokrasi yang tidak hanya hidup di gedung parlemen, tetapi juga hadir di sawah, di pasar, di ruang-ruang kelas, dan di meja makan rakyat.

Namun kenyataan berkata lain. Demokrasi kita lebih sering tergelincir di jalan. Alih-alih mewujudkan keadilan ekonomi, yang terjadi justru jurang kesenjangan semakin melebar. Alih-alih menjamin kebebasan, kita justru menyaksikan semakin sempitnya ruang kritik. Alih-alih berakar pada moralitas, kita malah melihat politik yang kian pragmatis dan transaksional.

Demokrasi kita, pada titik tertentu, memang besar dalam simbol tetapi rapuh dalam substansi. Kita bangga menyebut diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi apakah rakyat benar-benar merasakan manfaat dari demokrasi itu? Kita rutin menggelar pemilu, tetapi apakah rakyat merasa suaranya didengar setelah pesta selesai? Kita bicara tentang kedaulatan rakyat, tetapi apakah rakyat betul-betul berdaulat ketika suara mereka bisa dibeli dengan uang receh?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menafikan pencapaian demokrasi Indonesia. Tidak bisa kita pungkiri, reformasi 1998 telah memberi ruang yang jauh lebih luas dibanding masa sebelumnya. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, sistem multipartai, semua itu adalah capaian penting. Namun capaian itu bukan alasan untuk berpuas diri. Demokrasi bukan hadiah sekali jadi, melainkan proses yang harus terus-menerus diperjuangkan. Tanpa kesadaran itu, demokrasi akan terjebak menjadi rutinitas kosong yang hanya menguntungkan segelintir elit politik.

Karena itu, demokrasi Indonesia hari ini membutuhkan refleksi serius. Kita harus kembali mendengar pesan Hatta tentang pentingnya keadilan ekonomi. Kita harus kembali meneladani Syahrir tentang pentingnya kebebasan berpikir dan martabat manusia. Kita harus kembali mengingat Agus Salim tentang pentingnya moralitas. Tiga pesan ini, bila dirangkai, akan memberi arah yang jelas bagi demokrasi kita. Demokrasi Indonesia harus menjadi jalan tengah antara keadilan, kebebasan, dan moralitas.

Tentu, mewujudkan demokrasi seperti itu tidak mudah. Kita hidup di tengah realitas politik yang keras, di mana uang sering lebih berkuasa daripada ide, di mana kalkulasi elektoral lebih penting daripada gagasan, di mana popularitas lebih menentukan daripada integritas. Namun justru karena tantangan itulah, kita perlu menegaskan kembali janji demokrasi yang pernah diucapkan. Demokrasi Indonesia bukan hanya urusan teknis, bukan hanya soal sistem pemilu, melainkan soal arah moral bangsa ini.

Apakah para penguasa hari ini berani mendengar pesan itu? Ataukah mereka lebih sibuk mendengar suara mesin uang dan tim survei? Apakah rakyat akan terus diam melihat demokrasi dicemari oleh transaksi murahan? Ataukah rakyat akan kembali menegaskan bahwa demokrasi bukan untuk dijual, melainkan untuk dijalankan?

Demokrasi adalah janji yang belum sepenuhnya kita tepati. Janji itu masih menggantung, masih rapuh, masih mudah goyah. Tetapi janji itu tetap penting, karena di dalamnya ada cita-cita bangsa: kesejahteraan, kebebasan, dan keadaban. Demokrasi Indonesia harus menjadi rumah yang membuat rakyat merasa tenang, perut kenyang, pikiran merdeka, hati damai.

Barangkali jalan ke sana masih panjang. Barangkali kita akan terus tergelincir. Namun bangsa ini selalu berjalan dengan mimpi, dan demokrasi adalah salah satu mimpi terbesarnya. Pertanyaannya tinggal satu: beranikah kita, hari ini, menepati janji yang sudah lama kita ikrarkan?

0Komentar

Special Ads