TpdoGSGpGSriTfMlGpGlBSziTY==
Light Dark
 PWNU NTB: Membangun Masyarakat Sipil Islam yang Kuat, Peka, dan Melayani

PWNU NTB: Membangun Masyarakat Sipil Islam yang Kuat, Peka, dan Melayani

Daftar Isi
×
Agus Dedi Purawan/Ist

Oleh: Agus Dedi Putrawan, M.S.I.

(Lakpesdam PWNU NTB)

NU dalam Perspektif Civil Society

Pelantikan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Nusa Tenggara Barat periode 2025–2030 di bawah kepemimpinan Prof. Masnun Tahir menjadi momentum penting dalam sejarah organisasi Islam terbesar di provinsi ini. Setelah melewati satu periode penuh dengan konsolidasi internal, NU NTB kini ditantang untuk bergerak lebih progresif dan solutif. Visi yang ditawarkan “Kuat, Peka, dan Melayani” tidak boleh berhenti pada slogan, melainkan harus diwujudkan sebagai agenda transformasi yang terukur, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Sebagai akademisi sekaligus peneliti dalam bidang civil society, saya memandang NU NTB memiliki posisi strategis dalam konstelasi sosial keagamaan di Indonesia Timur. Dengan basis massa yang kuat, jejaring pesantren yang luas, dan tradisi keilmuan yang kokoh, NU bukan hanya representasi identitas keagamaan, tetapi juga aktor sipil yang mampu mengartikulasikan kepentingan publik. Dalam konteks NTB yang masih menghadapi problem stunting, kemiskinan, bencana, serta krisis kepercayaan publik terhadap institusi formal, NU dapat tampil sebagai agent of change yang melampaui sekadar organisasi tradisional.

Teori masyarakat sipil (civil society) dapat membantu kita membaca peran NU NTB ke depan. Robert Putnam (1993) menekankan bahwa modal sosial (social capital) kepercayaan, norma, dan jaringan sosial adalah kunci pembangunan yang berkelanjutan. Modal sosial inilah yang sesungguhnya dimiliki NU melalui jamaah, pesantren, dan badan otonom.

Sementara itu, Jurgen Habermas (1991) melihat masyarakat sipil sebagai ruang publik tempat wacana kritis dan partisipasi politik berlangsung. NU NTB, dengan legitimasi moralnya, dapat memainkan peran penting sebagai mediator antara negara dan masyarakat, sekaligus sebagai pengawal kepentingan kelompok rentan.

Lebih jauh, Antonio Gramsci (1971) menekankan konsep hegemoni bahwa kekuatan kultural dan ideologis menentukan arah perubahan sosial. NU NTB dengan tradisi ahlus sunnah wal jama’ah dapat menjadi hegemon positif, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, toleransi, serta keberpihakan pada kaum lemah.

Artinya, jika visi “Kuat, Peka, dan Melayani” dipadukan dengan kerangka civil society, NU NTB berpotensi menjadi kekuatan transformasi kultural sekaligus institusional di tingkat lokal maupun nasional.

Realitas Sosial NTB: Tantangan dan Agenda

Untuk memahami arah transformasi NU NTB, kita perlu meninjau konteks empiris masyarakat Nusa Tenggara Barat:

1. Kesehatan dan Stunting

Meskipun prevalensi stunting NTB menurun dari 31% (2019) menjadi sekitar 23% (2023), angka ini masih di atas rata-rata nasional. Pemerintah pusat menargetkan prevalensi stunting nasional turun ke 14% pada 2024. Dalam konteks ini, NU NTB dengan lembaga kesehatan, pesantren, dan jaringan kadernya memiliki peluang besar menjadi mitra strategis pemerintah. Edukasi gizi keluarga, sanitasi pesantren, serta penguatan peran Muslimat dan Fatayat NU dapat menjadi entry point penting.

2. Bencana dan Kemanusiaan

NTB adalah wilayah rawan bencana, mulai dari gempa bumi, banjir bandang, hingga kekeringan dan tak lupa mengadvokasi menyudahi pengungsian di wisma ransito. NU NTB melalui LPBI dan LAZISNU terbukti aktif dalam penanganan gempa Lombok 2018 serta pandemi COVID-19. Namun, respon tersebut sering masih bersifat reaktif, belum terlembaga dengan sistem disaster management yang modern. Ke depan, NU NTB perlu mengembangkan Standard Operating Procedure (SOP) bencana yang terukur, logistik yang siap, serta pelatihan kader relawan secara reguler.

3. Ekonomi Umat

Tingkat kemiskinan NTB per Maret 2024 masih berada di sekitar 13,7%, lebih tinggi dari rata-rata nasional (9,4%). NU NTB memiliki potensi ekonomi keumatan melalui koperasi pesantren, UMKM jamaah, dan wakaf produktif. Jika dikelola dengan profesional, NU bisa berperan sebagai penggerak inclusive economy yang memperkecil kesenjangan sosial.

4. Pendidikan dan Literasi

NU NTB memiliki banyak lembaga pendidikan, dari madrasah, pesantren, hingga perguruan tinggi. Namun, tantangan literasi digital dan mutu pendidikan masih besar. Revitalisasi Lembaga Pendidikan Ma’arif dan LPT NU mutlak diperlukan agar NU tetap relevan di era disrupsi teknologi.

Diagnosa Kelembagaan NU NTB

Melihat perjalanan lima tahun terakhir, NU NTB telah mencatat sejumlah capaian yang patut diapresiasi. Konsolidasi struktur organisasi berjalan lebih rapi, peran lembaga-lembaga NU mulai terasa dalam berbagai bidang, dan respons tanggap bencana yang dilakukan berhasil memperoleh apresiasi publik. Namun, di balik capaian tersebut masih tersimpan kelemahan yang perlu segera diatasi. Fragmentasi antar-lembaga masih cukup tinggi sehingga integrasi program belum berjalan optimal, sistem monitoring dan evaluasi kelembagaan masih lemah, dan ketergantungan pada pola pendanaan tradisional seperti donasi spontan serta iuran anggota membuat kemandirian organisasi terbatas. Dengan demikian, tantangan utama yang dihadapi NU NTB adalah bagaimana mentransformasikan kelembagaan tradisional menjadi lebih modern, terintegrasi, dan berkelanjutan.

Strategi Transformasi NU NTB

Agar visi “Kuat, Peka, dan Melayani” benar-benar hidup, NU NTB perlu merumuskan strategi transformasi pada tiga ranah utama:

1. Penguatan Organisasi

  1. Governance Digital. Mengembangkan governance dashboard berbasis teknologi untuk perencanaan, laporan keuangan, dan monitoring real-time.
  2. Kaderisasi Modern. Merancang kaderisasi berjenjang yang memasukkan literasi digital, advokasi kebijakan, dan social entrepreneurship.
  3. Ekonomi Keumatan. Membangun koperasi pesantren, UMKM jamaah, dan wakaf produktif sebagai sumber kemandirian.

2. Agenda Pelayanan Publik

  1. Kesehatan. Mengintegrasikan peran pesantren, posyandu, bidan, dan lembaga kesehatan NU untuk penanganan stunting.
  2. Bencana. Membentuk NU Disaster Management Center dengan SOP, logistik, dan pelatihan relawan.
  3. Pendidikan. Revitalisasi madrasah, pesantren, dan kampus NU agar adaptif terhadap era digital dan pasar kerja.

3. Strategi Komunikasi dan Kolaborasi

  1. Digital Public Sphere. Memperkuat ruang publik digital dengan narasi kebangsaan, toleransi, dan advokasi berbasis data.
  2. Kemitraan Akademik. Bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam riset kebijakan dan penyusunan policy brief.
  3. Advokasi Sosial. Menjadi mitra kritis pemerintah daerah dalam isu-isu sosial strategis (kemiskinan, kesehatan, pendidikan).

 

Indikator Keberhasilan

Agar transformasi dapat dievaluasi, NU NTB perlu menetapkan indikator keberhasilan yang terukur:

  1. Penurunan prevalensi stunting di wilayah intervensi NU sebesar 3–5% dalam dua tahun.
  2. Waktu respons tanggap bencana maksimal 24 jam setelah kejadian.
  3. Transparansi laporan keuangan lembaga NU mencapai tingkat akuntabilitas 90% ke atas.
  4. Partisipasi kader dalam program pelatihan tahunan mencapai 60–70%.
  5. Minimal 30 pesantren di NTB terintegrasi dalam ekosistem ekonomi produktif NU pada 2027.

Skenario Masa Depan NU NTB

Dengan visi “Kuat, Peka, dan Melayani”, saya memprediksi tiga skenario NU NTB hingga 2030:

  1. Skenario Optimis. NU NTB berhasil melakukan transformasi kelembagaan, berperan sebagai aktor sipil utama di NTB, dan menjadi rujukan nasional dalam isu stunting, ekonomi umat, advokasi sosial dan kebencanaan.
  2. Skenario Moderat. Transformasi berjalan parsial. Ada perbaikan sektoral, tetapi belum terintegrasi. NU tetap relevan, tetapi daya tawarnya terbatas.
  3. Skenario Pesimis. Visi berhenti pada retorika, kelembagaan tidak berubah signifikan, sehingga NU kehilangan relevansi di tengah kompetisi organisasi keagamaan dan sipil lain.

Penutup

NU NTB kini berada pada momentum emas. Kepemimpinan Prof. Masnun Tahir di periode kedua membuka ruang bagi konsolidasi lebih matang sekaligus peluang transformasi. Namun, visi “Kuat, Peka, dan Melayani” hanya akan berhasil jika NU berani melakukan lompatan institusional: memperkuat tata kelola, mengintegrasikan pelayanan publik berbasis data, dan meneguhkan modal sosial di ruang publik digital. Tantangan besar seperti krisis lingkungan, arus disrupsi teknologi, dan problem stunting yang masih menghantui NTB menuntut NU tampil bukan hanya sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga sebagai aktor pembangunan yang strategis.

Sebagaimana pesan klasik NU: “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” menjaga tradisi yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Dengan langkah itu, NU NTB tidak hanya akan menjadi simbol tradisi keagamaan, tetapi juga motor civil society yang mampu mengartikulasikan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dalam praksis sosial yang nyata.

Masa depan NTB membutuhkan NU yang tidak sekadar hadir, tetapi bekerja nyata, menjadi mitra kritis sekaligus kolaboratif bagi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Itulah hakikat visi “Kuat, Peka, dan Melayani” yang harus menjadi kompas kolektif NU NTB dalam lima tahun mendatang sebuah panggilan untuk meneguhkan khidmah, memperkuat inovasi, dan memastikan bahwa kehadiran NU benar-benar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat dan bangsa.

0Komentar

Special Ads