Oleh: Salman Faris
Tidak dapat dimungkiri
besarnya euforia bangsa Sasak atas kemenangan gubernur Iqbal. Hal tersebut
dirayakan sebagai kemenangan bangsa Sasak. Kemenangan yang kembali ke tangan
Sasak. Saya perlu jelaskan sedikit secara khusus dalam hal ini. Orang Sasak ini
agak aneh, meskipun TGB pernah menjadi gubernur, namun riuh rendah perayaan
tidak segempita saat kemenangan gubernur Iqbal dan Pak Serinata. Karena TGB
tidak sepenuhnya dinilai merepresentasikan bangsa Sasak.
Malahan ada kesan, TGB
didendami karena pada waktu itu mengalahkan Pak Serinata, yang notabene
benar-benar dirasakan sebagai bangsa Sasak itu sendiri. Sedangkan TGB, dirasa,
entah mewakili siapa. Karena itu, begitu giliran gubernur Iqbal, bangsa Sasak
seperti mendapatkan kembalinya kemenangan. Itu penjelasan singkat saya. Bab ini
cukup serius, jadi diperlukan judul tulisan yang lain untuk dapat
menguraikannya pola politik orang Sasak.
Kembali ke soal gempita
kemenangan gubernur Iqbal yang meniupkan semangat dan harapan baru bagi Sasak.
Kemenangan yang kembali, sekaligus kemenangan yang harus terus dipertahankan.
Demikianlah kira-kira tekad bangsa Sasak. Namun persoalannya, apakah hal
tersebut akan memberikan keuntungan bagi gubernur Iqbal? Apakah gempita raya
bangsa Sasak itu akan memudahkan visi dan misi gubernur Iqbal untuk menduniakan
NTB?
Berdasarkan pengalaman
berpolitik orang Sasak, saya melihat gempita raya itu malahan menjadi pisau
bermata dua bagi gubernur Iqbal. Dengan kata lain, euforia kemenangan bangsa
Sasak tersebut malahan menjadi tantangan utama gubernur Iqbal. Tantangan dari
dalam bangsa sendiri yang merupakan watak dasar politik, bahkan kebangsaan
orang Sasak. Politik dan kebangsaan orang Sasak, tidak pernah benar-benar
beraroma tunggal. Seumpama angin, terbang melewati harum, maka harumlah aroma
angin itu. Melayang melewati amis bangkai, maka aroma amis bangkailah angin
itu. Sangat mudah menjadi pembela mati, sangat cepat menjadi pembunuh saudara
sendiri.
Dengan begitu, sekali lagi
saya tegaskan bahwa bangsa Sasaklah tantangan terbesar gubernur Iqbal dalam
menakhodai NTB. Kenapa? Baik, saya akan coba sedikit uraikan. Ada aroma
kebangkitan bangsa Sasak ketika gubernur Iqbal bertanding. Gejala ini ditandai
dengan terbentuknya semacam persepsi kolektif bahwa meskipun ada calon lain dari
bangsa Sasak, namun hanya gubernur Iqbal yang sepenuh merepresentasikan bangsa
Sasak. Persepi kolektif itu kemudian menyusup secara kultural dan sistematis ke
tengah bangsa Sasak, yang kemudian secara perlahan membentuk imajinasi kolektif
tentang satu masa, di mana inilah saat kebangkitan bangsa Sasak. Inilah masa
untuk mendapatkan kemenangan kembali bangsa Sasak.
Atas dasar itu, maka
tumbuhlah satu situas, yang mungkin bisa saya analogikan sebagai penyakit
megalomania. Karena bangsa Sasak berhasil membentuk imajinasi kolektif tentang
kebangkitan melalui diri gubernur Iqbal, maka tumbuh secara kuat tiga merasa
pada diri bangsa Sasak. 1) merasa paling berjasa, 2) merasa paling berhak, 3)
merasa paling memiliki.
Meskipun secara teori, amat
susah memetakan siapa paling berjasa dalam pertarungan politik, karena pada
dasarnya setiap orang, semua komponen bekerja dalam sistem masing-masing.
Tetapi karena sudah dijangkiti penyakit merasa paling berjasa alias merasa
paling berjuang, maka orang Sasak tidak bisa dielakkan dari situasi, di mana
merekalah yang berjasa atas kemanangan gubernur Iqbal. Secara retorik, mereka
dapat membangun argumen bahwa atas terbentuknya imajinasi kolektif kemenangan
bangsa Sasaklah gubernur Iqbal memenangkan kontestasi. Secara ilmiah, ini dapat
dibantah, namun sekali lagi karena sudah menjadi penyakit, maka bantahan
berubah sia-sia.
Karena merasa paling berjasa
dalam kemenangan gubernur Iqbal, maka menjalar penyakit merasa paling berhak.
Bangsa sasak merasa paling berhak mendapatkan porsi lebih besar atas kue
kemenangan. Dengan keyakinan ini, mereka menuntut kepala OPD harus lebih banyak
dari bangsa Sasak, misalnya. Atau contoh lain, pembangunan harus lebih banyak
ditumpukan di tengah orang Sasak. Mereka merasa paling berhak untuk lebih banyak
dan lebih luas dilibatkan dalam program pemerintah, pengangkatan tim-tim
strategis, perumusan pengembangan daerah.
Tidak berhenti di situ,
mereka juga merasa paling memiliki gubernur Iqabl. Kemudian menuntut kehadiran
gubernur Iqbal dalam segala hal yang berkaitan Sasak. Acara adat, budaya,
agama, perayaan, bahkan sampai acara perkawinan dituntut kehadiran gubernur
Iqbal. Tuntutan itu memaksakan kehendak agar gubernur Iqbal mengutamakan bangsa
Sasak dibandingkan yang lain.
Sebagaimana penyakit megalomania,
besarnya perasaan paling itu berdampak pada risiko kekecewaan yang jauh lebih
besar pula. Ketika bangsa Sasak yang merasa paling berjasa, merasa paling
berhak, dan merasa paling memiliki itu tidak sesuai dengan kenyataan, maka yang
tumbuh kemudian adalah tumbuhnya keraguan secara perlahan. Kemudian keraguan
terhadap gubernur Iqbal semakin membesar, yang menimbulkan kekecewaan. Lalu
seterusnya diikuti oleh kemarahan. Ending dari semua perasaan tersebut adalah
perlawanan. Dengan kata lain, berbalik arah untuk melawan gubernur Iqbal. Jadi
polanya adalah 1) keraguan, 2) kekecewaan, 3) kemarahan, 4) perlawanan.
Seperti pola sebelumnya, saat
mereka menaruh harapan kepada gubernur Iqbal. Hal yang sama dilakukan dalam
lumbung kekecewaan. Mereka membangun persepsi perlawanan terlebih dahulu,
kemudian menciptakan imajinasi kolektif tentang sosok gunbernur Iqbal yang tak
sesuai harapan. Umpatan kecewa sampai kritik terbuka mulai menjamur. Dalam hal
begini, bangsa Sasak termasuk sangat pandai. Menyanjung orang dengan kata
setinggi langit, kemudian merendahkannya setelah itu dengan kata serendah
lapisan bumi terbawah. Seperti yang saya katakan di atas, dalam banyak hal,
orang Sasak tak pernah mempunyai karakter tunggal.
Gaduh politik sesama bangsa
Sasak itu kemudian dimainkan oleh lawan politik. Orang Sasak yang sudah di
puncak kecewa terhadap gubenur Iqbal, karena tidak punya modal yang kuat,
kemudian mencari pelabuhan lain. Di sanalah mereka berjumpa dan berkoalisi
dengan lawan politik gubernur Iqbal. Baik lawan politik lama yang masih
mempunyai kehendak berkuasa yang sangat kuat, maupun lawan politik baru yang
berpotensi bergabung dengan lawan politik lama.
Dalam situasi tersebutlah
kemudian, mulai semakin nampak jelas. Politik bangsa Sasak selalu terikat oleh
satu pola yang menghinakan. Hanya karena kecewa oleh harapan sendiri, saudara
sendiri sanggup dinistakan. Serangan-serangan kejam bahkan keji, yang akan
dihadapai oleh gubernur Iqbal banyak datang dari bangsa Sasak sendiri. Baik
dari yang dulu pendukung utama kemudian berubah menjadi lawan utama, maupun
yang memang sudah berlawanan sejak kontestasi pertama.
Potensi ke arah pembalikan
arus yang sumbernya dari kecewa tersebut akan terus semakin membesar. Hal ini
dikarenakan oleh watak kebangsaan orang Sasak yang tidak mudah menghapus kecewa
politik. Malahan kecewa politik itu, dalam catatan sejarah orang Sasak, hampir
semuanya semakin membesar yang berhujung pada dendam dan permusuhan politik
abadi. Bahkan boleh saya katakan, secara ekstrimnya, sejarah politik orang
Sasak mencatatkan bahwa bangsa Sasak lebih banyak diselimuti oleh permusuhan
dan dendam politik. Artinya, dalam politik, persatuan kebangsaan Sasak tidak
pernah utuh.
Karena itu, saya melihat.
Dalam kontestasi politik mendatang, bangsa Sasak akan terbelah secara besar,
karena putus harap dan gunung kecewa terhadap gubernur Iqbal berpotensi semakin
besar. Lalu arus kecewa itu akan membangun kekuatan lain untuk mengalahkan
gubernur Iqbal. Tentu saja, situasi berbeda jika gubernur Iqbal cepat sensitif
dan gesit bertindak untuk mengambil langkah strategis dan jitu dalam membangun
pola politik kebangsaan orang Sasak yang lebih relevan.
Terlepas dari sukses tidaknya
gubernur Iqbal membangun formulasi tepat dalam menghadapi rasa kecewa bangsa
sendiri itu, sejauh ini, begitulah politik bangsa Sasak. Selalu berhujung dalam
keterserakan. Berakhir dalam kolam kekecewaan. Malangnya, mereka amat susah
belajar dari keterserakan dan kekecewaan. Lalu membangun politik bangsa Sasak
yang lebih unggul dan matang.
Karena itu, sekali lagi saya
tegaskan. Tantangan utama gubernur Iqbal ialah dari bangsa Sasak sendiri.
0Komentar