![]() |
foto: Agus Dedi Putrawan (Dok. pribadi) |
Oleh: Agus Dedi Putrawan, Dosen Sosiologi Politik UIN Mataram
Mataram, PolitikNTB.Com—Demonstrasi yang mengguncang berbagai daerah di Indonesia pada akhir Agustus 2025 mencerminkan lebih dari sekadar ketidakpuasan politik dan ekonomi. Ia adalah letupan rasa muak kolektif terhadap perilaku elite politik yang dianggap mengkhianati amanah rakyat. Gelombang protes menolak tunjangan selangit anggota DPR, diperparah oleh kematian tragis Affan Kurniawan seorang pengemudi ojol yang tewas di tengah aksi menjadi simbol krisis moral politik yang semakin memperlebar jarak antara penguasa dan masyarakat.
Karl Marx menyatakan bahwa sejarah masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Dalam kasus Indonesia, muak yang diekspresikan rakyat adalah wujud resistensi kelas subordinat terhadap akumulasi privilese kelas dominan. Tunjangan hunian puluhan juta rupiah bukan sekadar angka, tetapi lambang eksploitasi simbolik di tengah penderitaan rakyat. Dengan kata lain, rakyat tidak hanya melawan ketidakadilan ekonomi, melainkan juga penghinaan moral dari elit yang hidup mewah di atas kemiskinan publik.
Ralf Dahrendorf melihat konflik sebagai keniscayaan ketika distribusi otoritas timpang. DPR memonopoli akses terhadap sumber daya dan legitimasi formal, sementara rakyat tidak punya saluran representasi efektif. Ketika otoritas itu disalahgunakan untuk memperkaya diri, rasa muak rakyat menemukan momentumnya. Dalam kerangka ini, demonstrasi bukan sekadar keresahan sosial, melainkan perlawanan terhadap struktur otoritas yang kehilangan dimensi etisnya.
C. Wright Mills menegaskan bahwa segitiga kekuasaan politik, militer, dan ekonomi menciptakan oligarki terselubung dalam demokrasi modern. Realitas Indonesia hari ini menunjukkan pola serupa. DPR menikmati privilese, aparat keamanan menjadi tameng represif, sementara bisnis tetap mencari keuntungan. Simbiosis ini menegaskan krisis moral politik: kekuasaan yang seharusnya dipakai untuk melayani publik justru digunakan untuk mengabadikan kenyamanan elite.
Dimensi moralitas juga muncul jelas melalui teori legitimasi Max Weber. Kekuasaan bertahan hanya jika diakui sah oleh rakyat. Ketika aparat negara melindas warganya, dan DPR berpesta di tengah inflasi, maka yang runtuh bukan hanya legitimasi politik, tetapi juga moralitas kekuasaan. Rakyat menjadi muak bukan hanya karena lapar, melainkan karena merasa martabatnya dilecehkan.
Teori relative deprivation (Gurr, 1970) memberi penjelasan tambahan. Kemarahan rakyat lahir dari kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Mereka menuntut kehidupan layak, tetapi yang ditawarkan negara adalah ketimpangan mencolok. Rasa muak menjadi energi kolektif karena rakyat tidak hanya merasa miskin, tetapi juga merasa dikhianati. Ketika kekecewaan ini menumpuk, ledakan sosial-politik menjadi tak terhindarkan.
Konflik ini sebenarnya menyimpan potensi ambivalen. Ia bisa destruktif melahirkan perusakan simbol negara dan korban jiwa. Namun ia juga bisa produktif mendorong lahirnya reformasi struktural dan etika baru dalam politik. Sosiologi politik mengingatkan: konflik adalah motor perubahan, tetapi arah perubahan bergantung pada bagaimana negara merespons.
Sayangnya, respons pemerintah masih setengah hati: di satu sisi menyatakan duka cita, di sisi lain tetap mempertahankan privilese DPR. Kontradiksi ini memperdalam krisis moral politik. Negara tampak gagap membedakan mana kebijakan yang etis dan mana yang hanya sekadar mempertahankan status quo. Alih-alih meredam muak, respons ini justru memperkuat rasa jenuh dan ketidakpercayaan rakyat.
Demonstrasi hari ini adalah alarm keras. Ia menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tengah diguncang oleh dua hal sekaligus: ketimpangan kelas dan keruntuhan moral elite. Teori konflik mengingatkan kita bahwa muak bukanlah emosi semata, melainkan tanda lahirnya kesadaran kolektif bahwa sistem yang ada gagal memenuhi janji keadilan sosial.
Sebagai refleksi, demonstrasi muak ini adalah teguran bahwa demokrasi tanpa moral hanyalah kedok oligarki. Rakyat turun ke jalan bukan hanya menuntut roti, tetapi juga menuntut etika dalam politik. Jika negara gagal mengembalikan moralitas kekuasaan, maka muak akan terus bertransformasi menjadi perlawanan yang lebih radikal. Dengan kata-kata Marx: mereka yang di atas tidak bisa memerintah seperti biasanya, dan mereka yang di bawah tidak mau hidup seperti biasanya. Itulah krisis moral politik yang kini menampakkan wajahnya di Indonesia.
0Komentar