![]() |
ilustrasi demo |
Oleh: DR. Sabirin, M.Si
Lombok Barat, PolitikNTB.Com-Di jalanan negeri ini, suara rakyat kerap berubah menjadi teriakan. Teriakan itu bergeser menjadi jeritan, lalu jeritan pun terkadang berakhir menjadi doa yang diucapkan di tepi pusara.
Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang aman bagi rakyat mengekspresikan haknya, justru terlalu sering meninggalkan jejak darah dan air mata. Bendera yang dikibarkan di atas jalan raya, sering kali berakhir sebagai kain penutup jenazah seorang pejuang yang tumbang di bawah moncong kekerasan.
Kita masih mengingat bagaimana tubuh-tubuh mahasiswa pernah berbaris, memadati jalan demi menolak ketidakadilan, menantang kebijakan yang dianggap mengkhianati suara rakyat.
Namun keberanian itu tidak selalu berbalas penghormatan. Kadang, justru berujung pada kekerasan yang menghapus masa depan mereka. Nama-nama seperti Trisakti, Semanggi, hingga mereka yang lebih baru, tetap menjadi tanda tanya besar: apakah demokrasi kita benar-benar milik rakyat, atau hanya panggung yang diatur penguasa?.
Jalanan selalu menjadi ruang sakral, tempat suara yang tak terwakili mencoba didengar. Namun jalanan pula yang berkali-kali menjelma altar pengorbanan, di mana darah rakyat tumpah demi menyuarakan kebenaran.
Demokrasi yang seharusnya memberi kehidupan, justru berkali-kali menagih nyawa. Harga yang dibayar rakyat terlalu mahal untuk sekadar kebijakan yang berubah arah, janji yang tak ditepati, atau kepentingan segelintir orang yang lebih kuat dari hukum.
Ironisnya, di tengah semua itu, elite politik sering kali menyebut demokrasi kita “sehat”, seolah peluru karet, gas air mata, dan tubuh yang roboh hanyalah catatan kaki dalam sejarah.
Mereka duduk di kursi kekuasaan, membicarakan pasal demi pasal, sementara di luar sana rakyat kehilangan anaknya, seorang istri kehilangan suami, dan orang tua kehilangan generasi harapan. Seakan-akan demokrasi hanya milik mereka yang bisa menafsirkan undang-undang, bukan milik rakyat yang berteriak di jalan demi didengar.
Dari jalanan ke pemakaman, jaraknya sering kali hanya selembar kain kafan. Seorang pemuda yang pagi hari membawa poster protes, bisa saja sore harinya kembali dalam keranda.
Ironi ini menghantui perjalanan demokrasi kita, hak untuk bicara dijamin konstitusi, namun harga untuk melakukannya bisa setara dengan kehidupan. Apakah ini yang dimaksud kedaulatan rakyat? Apakah ini wajah sejati demokrasi yang kita banggakan ke dunia?.
Meski demikian, rakyat terus mencoba percaya bahwa suaranya masih berarti. Mereka tetap turun ke jalan, membawa asa meski sadar risikonya terlalu besar. Karena mereka tahu, diam hanya berarti tunduk.
Namun setiap kali pemakaman baru digelar, setiap kali doa kembali dipanjatkan untuk korban yang tak bersalah, kepercayaan itu terkikis perlahan. Demokrasi seolah menjelma lubang gelap yang menelan pengorbanan tanpa pernah kenyang.
Di pusara-pusara itu, demokrasi diuji. Bukan hanya oleh nyali rakyat, tetapi juga oleh kebisuan negara. Apakah negara hadir untuk melindungi warganya, atau sekadar mengatur bagaimana warganya boleh bicara?.
Setiap batu nisan yang menyimpan nama-nama pejuang jalanan adalah pengingat pahit bahwa demokrasi kita masih rapuh, masih mahal, dan masih sering menagih nyawa untuk sekadar berjalan.
Indonesia kerap disebut sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, bahkan di dunia. Namun ukuran demokrasi tidak hanya dilihat dari jumlah suara saat pemilu, melainkan dari bagaimana negara memperlakukan suara yang berbeda, suara yang menantang, suara yang kritis.
Di sinilah paradoks terbesar terjadi, demokrasi kita kuat dalam hitungan kertas suara, tetapi rapuh di hadapan suara rakyat yang memilih jalanan sebagai panggung terakhirnya.
Pada akhirnya, demokrasi bukan sekadar soal kursi siapa yang diduduki, melainkan soal bagaimana nyawa rakyat dihargai. Setiap kematian di jalanan adalah luka kolektif, dan setiap pemakaman seorang pejuang demokrasi adalah cermin bahwa kedaulatan rakyat masih jauh dari nyata.
Kita berutang pada mereka yang sudah tiada, pada suara-suara yang dibungkam dengan paksa. Hutang itu tidak akan lunas hanya dengan retorika di gedung parlemen.
Dari jalanan ke pemakaman, dari teriakan ke keheningan, perjalanan itu terlalu sering terjadi di negeri ini. Demokrasi seharusnya menjadi rumah yang aman bagi rakyat, bukan ladang pengorbanan.
Jika harga demokrasi terus dibayar dengan nyawa, maka sesungguhnya yang kita bangun bukanlah demokrasi, melainkan tirani dengan topeng kebebasan.
(Penulis adalah Tenaga Ahli Pendamping Desa Kabupaten Lombok Barat)
0Komentar