![]() |
foto: Umar Achmad Seth |
Oleh: Umar Achmad Seth (Pemerhati Hukum dan Demokrasi)
Lombok Barat, PolitikNTB.Com–Gelombang demonstrasi besar di Jakarta belakangan ini tidak hanya menuntut pencabutan tunjangan DPR RI. Suara massa bergerak lebih jauh, hingga menyerukan pembubaran DPR sebagai institusi politik. Selasa, (26/8/25).
Seruan itu terdengar lantang di jalanan, seakan-akan rakyat sudah kehilangan harapan pada lembaga legislatif. Tetapi mari sejenak membayangkan jika tuntutan itu benar-benar terwujud.
Bayangkan sebuah Indonesia tanpa DPR. Tidak ada lagi sidang paripurna yang penuh perdebatan, tidak ada lagi fraksi yang mengadu gagasan atau sekadar mempertahankan kepentingan partai, tidak ada lagi wakil rakyat yang berbicara entah untuk rakyat atau untuk dirinya sendiri.
Semua urusan negara berpindah ke tangan eksekutif. Presiden bisa membuat undang-undang sendiri, menyusun anggaran sesuka hati, sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan tanpa ada yang mengimbangi. Mungkin pemerintahan akan tampak lebih cepat dan efisien. Tetapi apakah itu masih bisa disebut demokrasi.
Dalam bangunan negara modern, DPR memegang tiga peran penting yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tiga fungsi ini bukan sekadar formalitas, melainkan jantung dari prinsip pembagian kekuasaan.
Hilangnya DPR sama saja dengan meruntuhkan satu tiang utama trias politica. Indonesia akan berubah menjadi negara dengan kekuasaan tunggal di tangan eksekutif. Bahayanya terletak pada kemudahan yang terlalu besar dalam mengalirkan keputusan. Presiden bisa menetapkan undang-undang tanpa pertimbangan, mengatur APBN tanpa diskusi, dan mengendalikan jalannya negara tanpa pengawasan. Apa yang tampak sebagai efisiensi justru membuka jalan menuju otoritarianisme.
Kritik terhadap DPR tentu sangat banyak. Survei-survei menunjukkan kepercayaan publik pada DPR berada di urutan rendah dibandingkan lembaga lain. Tidak jarang parlemen dipandang hanya sebagai ruang transaksi politik elit, jauh dari kepentingan rakyat yang mereka wakili.
Namun andai DPR benar-benar hilang, aspirasi rakyat tidak lagi punya saluran formal. Suara rakyat hanya bisa bergema di jalanan. Demonstrasi akan menjadi kanal utama, tekanan massa bisa meluas, bahkan potensi kerusuhan sosial tidak terhindarkan. Pemerintahan yang berdiri tanpa parlemen, meskipun lahir dari pemilu yang demokratis, akan dengan mudah dicap otoriter. Demokrasi tanpa DPR ibarat rumah tanpa tiang. Masih mungkin berdiri sebentar, tetapi roboh begitu diterpa angin pertama.
Dampak lain yang jarang dibicarakan adalah persoalan ekonomi. Tanpa DPR, penyusunan APBN sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah. Tidak ada sidang anggaran, tidak ada forum publik, tidak ada transparansi tentang ke mana uang negara dialokasikan.
Dalam situasi seperti ini, kepercayaan pasar akan goyah. Investor akan bertanya-tanya apakah Indonesia masih memiliki kepastian hukum. Bagaimana jika kebijakan fiskal berubah sewaktu-waktu karena hanya ditentukan oleh lingkaran sempit eksekutif. Demokrasi yang gaduh justru menghadirkan kepastian.
Perdebatan parlemen yang berliku memberi sinyal tentang arah kebijakan, prosedur yang panjang menunjukkan bahwa keputusan tidak bisa diambil sepihak. Hilangnya DPR sama dengan hilangnya salah satu fondasi kepercayaan dalam tata kelola ekonomi nasional.
Harus diakui bahwa kekecewaan publik terhadap DPR bukan tanpa alasan. Kualitas legislasi rendah, dominasi oligarki partai begitu kuat, dan kasus korupsi berjamaah menambah daftar panjang kekecewaan. Tetapi membubarkan DPR bukanlah solusi. Itu sama saja dengan membakar rumah hanya karena tidak suka pada penghuninya.
Yang jauh lebih masuk akal adalah melakukan perbaikan. Reformasi DPR perlu dimulai dari proses rekrutmen politik yang lebih transparan, mekanisme legislasi yang membuka ruang partisipasi rakyat, serta pengawasan yang ketat terhadap perilaku anggota. Teknologi digital bisa digunakan untuk memperkuat keterlibatan publik. Kanal konsultasi yang real time dapat memberi rakyat kesempatan ikut terlibat langsung dalam pembahasan undang-undang.
Demokrasi memang tidak pernah sempurna. Ia selalu gaduh, sering kali melelahkan, bahkan kadang tampak membuang waktu. Namun di situlah nilai demokrasi terletak. Kegaduhan itu menandakan ada ruang bagi perbedaan.
Tanpa DPR, demokrasi akan kehilangan salah satu nafas utamanya. DPR bukan hanya gedung megah di Senayan. Ia adalah simbol bahwa rakyat masih punya ruang formal, betapapun kecilnya, untuk menentukan arah bangsa. Menghapus DPR berarti menutup pintu itu rapat-rapat, membiarkan rakyat sekadar menjadi penonton di panggung besar kekuasaan.
Indonesia tanpa DPR bukanlah demokrasi. Itu hanya panggung tunggal bagi eksekutif. Mungkin tampak lebih cepat, mungkin terlihat lebih efisien, tetapi negara semacam itu kehilangan roh kebebasan, keseimbangan, dan legitimasi. Dan kita tentu tidak ingin hidup di bawah bayang-bayang negara seperti itu.
0Komentar