![]() |
foto: Mamiq Muhammad (kiri), Rawisah (kanan). Sumber: Badan Arsip Kab. Lombok Timur |
Oleh: Dr. Fathurrijal
Mataram.PolitikNTB.Com – Tatkala Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan di Jakarta, gaung kemerdekaan itu tidak seketika menjangkau pelosok Nusantara. Di Lombok, berita agung itu harus menempuh perjalanan penuh risiko. Ia dibawa oleh anak-anak muda yang tak gentar menghadapi ancaman kolonial, pemuda yang mengikat hidupnya pada satu semboyan, “Hidup Mulia atau Mati Syahid".
Di antara mereka berdiri tegak para aktivis Muhammadiyah. Mereka bukan hanya penggerak dakwah, tetapi juga pejuang yang menjadikan iman sebagai pelita di medan revolusi.
Sejarah mencatat nama M. Asmo. Pada 1936 ia menjabat Ketua II Muhammadiyah Cabang Mataram, lalu dipercaya memimpin cabang pada 1951. Namun yang paling abadi dari jejaknya adalah perannya membawa kabar Proklamasi ke Lombok bersama Lalu Sahak dan R. Sukro. Kabar itu bukan sekadar berita, melainkan api yang membakar semangat rakyat.
Tak berhenti di situ, M. Asmo dipercaya memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) Lombok Timur pada 8 Oktober 1945, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia di daerah tersebut. Dari tangannya, semangat republik itu menyalakan bumi Sasak.
Jejak yang sama diteruskan Putrajab. Kelak ia dikenal sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lombok Timur (1980–1981), tetapi jauh sebelumnya ia telah menyusup dalam struktur BKR bersama M. Asmo. Garis perjuangan kader Muhammadiyah tak pernah terputus, dari perlawanan bersenjata menuju dakwah sosial-keagamaan setelah republik tegak berdiri.
Di Selong, seorang tokoh lain memilih jalan juang yang berbeda, M. Sedek namanya. Ia menjabat Ketua Muhammadiyah Cabang Selong pada 1949, tetapi sejak 1946 sudah mengabdikan diri di Palang Merah Indonesia. Ia merawat pejuang yang terluka, mengusap keringat para syuhada, dan memberi harapan di tengah kobaran revolusi.
Melalui Muhammadiyah, khususnya bidang Penolong Kesengsaraan Umum (PKU), ia menunjukkan bahwa jihad juga bisa lahir dari kasih sayang dan pengabdian.
Lalu ada Rawisah, santri KH. Mas Mansur, Ketua PP Muhammadiyah. Ia pernah menjadi Wakil Ketua Laskar BASMI (1945–1946) dan Pembantu Ketua Muhammadiyah Cabang Masbagik (1937). Suaranya lantang membangkitkan moral rakyat, meneguhkan bahwa penjajahan tak boleh dibiarkan berakar di Lombok. Rawisah adalah pejuang di medan laga sekaligus pengobar semangat jihad fi sabilillah.
Nama Mamiq Muhammad pun tak boleh dilupakan. Pada 1946 ia memimpin Badan Perjuangan Rakyat Indonesia (BPRI) Lombok Timur, sekaligus ikut merintis Muhammadiyah Cabang Masbagik. Sejarah mencatat ikatan darah dan perjuangan ketika ia berbesanan dengan Rawisah.
Dari garis keluarga itu lahir Lalu Masri, cucu mereka, yang kini menjadi Ketua Majelis Wakaf Muhammadiyah Lombok Timur. Generasi silih berganti, tetapi api pengabdian tak pernah padam.
Di gelanggang dakwah dan perjuangan, berdiri pula TGH. Haris Pohgading. Ulama karismatik sekaligus Konsul Muhammadiyah Lombok ini sejaman dengan Maulana Syaikh. Dari mimbar hingga gelanggang, ia meniupkan semangat jihad untuk mempertahankan kemerdekaan. Suaranya menggema, menegaskan bahwa jihad di Lombok adalah bagian tak terpisahkan dari jihad bangsa Indonesia.
Sementara di pulau seberang, tepatnya di Bima, Muhammadiyah tak kalah meninggalkan jejak. Idris M. Ja’far, pendiri Muhammadiyah Bima tahun 1937, tampil sebagai pelopor pembaruan Islam dan penyemai semangat kebangsaan. Ia membuktikan bahwa Muhammadiyah bukan sekadar gerakan tajdid, melainkan bagian integral dari revolusi nasional. Bersamanya, tokoh seperti A.D. Talu dan M. Hasan menyalakan obor republik di tanah Bima, memadukan iman dengan patriotisme.
Mereka semua, M. Asmo, Putrajab, M. Sedek, Rawisah, Mamiq Muhammad, TGH. Haris Pohgading, Idris M. Ja’far, hingga A.D. Talu dan M. Hasan, adalah wajah-wajah Muhammadiyah NTB generasi pertama.
Mereka menulis lembaran revolusi dengan tinta pengorbanan. Mereka mendirikan laskar, masuk penjara, merawat para syuhada, membangun jaringan komunikasi rahasia, dan menyemai semangat jihad fi sabilillah.
Dari catatan Arsip Muhammadiyah NTB tahun 1980, buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945–1949 Daerah NTB terbitan Depdikbud (1978), hingga dokumen-dokumen Arsip Nasional Republik Indonesia, satu hal yang nyata, kader Muhammadiyah di NTB adalah denyut tak terpisahkan dari perjuangan bangsa.
Delapan dekade setelah proklamasi, nama-nama itu mungkin tak sepopuler tokoh nasional. Tetapi jejak mereka tetap hidup, berdenyut dalam amal usaha Muhammadiyah NTB, baik dalam dunia pendidikan, kesehatan, dakwah, dan pengabdian sosial.
Mereka adalah mata air yang tak pernah kering, obor yang tak pernah padam. Semoga jasa dan pengorbanan mereka menjadi amal jariyah, menerangi jalan generasi yang datang sesudahnya.
(Penulis adalah Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah NTB)
0Komentar