TpdoGSGpGSriTfMlGpGlBSziTY==
Light Dark
 Kesadaran, Nalar, dan Jalan Kebudayaan Sasak (Tanggapan atas Kritik Adam Gottar Parra untuk Lembaga Majelis Adat Sasak)

Kesadaran, Nalar, dan Jalan Kebudayaan Sasak (Tanggapan atas Kritik Adam Gottar Parra untuk Lembaga Majelis Adat Sasak)

Daftar Isi
×

Oleh: Ahmad Saleh Tabibuddin. 

Lombok Barat, PolitikNTB.com-Kalimat “Kesadaran yang dibangun di atas nalar yang benar” adalah kutipan kalimat yang ditulis Addam Gottar Parra di dinding Facebook-nya. Kalimat yang membuka satu perbincangan tentang nasib kebudayaan Sasak hari ini. Ia menyentil kenyataan bahwa kesadaran kolektif kita masih sering terseret pada glorifikasi tradisi, padahal tradisi hanyalah produk, bukan inti kebudayaan.

Sebelumnya, pelu kita tengok ap aitu kebudayaan, dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, yakni hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh besar yaitu zaman dan alam. Dari pergumulan itu, manusia melahirkan nilai, simbol, dan sistem hidup yang terus berkembang. Tradisi, dengan demikian, adalah salah satu hasil dari proses kebudayaan yang pernah berlangsung di masa lalu.

Bila merujuk pada Ki Hajar Dewantara di atas, maka sapuk, dodot, keris, bale adat, hingga nyongkolan, semuanya lahir dari nalar generasi masa lalu yang mencoba menjawab tantangan zamannya. Leluhur kita bukan sekadar pewaris, mereka adalah pencipta, karena berani menalar dan berinovasi.

Bila merujuk pada kritik Adam, masalah hari ini muncul ketika generasi sekarang hanya ‘memuja produk’ tanpa meneladani keberanian nalar yang melahirkannya. Kritik Adam terhadap Majelis Adat Sasak (MAS) menohok tepat di titik ini, sebab menurutnya, MAS masih terjebak pada cara pandang masa lalu, melihat masa depan hanya dari perspektif tradisi.

Lalu ada Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang sejak lama menegaskan bahwa bangsa yang ingin maju harus menempatkan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan kreativitas sebagai pusat kebudayaan. Bagi STA, tradisi tidak boleh menjadi beban yang membelenggu, melainkan harus ditafsir ulang dengan semangat baru. Ia bahkan mengingatkan bahwa terlalu membanggakan masa lalu adalah penyakit bangsa yang ingin maju.

Tak berheni pada STA, bahkan Soedjatmoko, sang intelektual besar Indonesia itu menyatakan bahwa kebudayaan yang hidup hanyalah kebudayaan yang sanggup menjawab tantangan zaman. Tradisi yang tidak ditafsir ulang akan membeku, menjadi fosil sejarah, bukan energi masa depan.

Kritik Adam, bahwa “di masa depan, jangankan adat-istiadat/tradisi, bahkan agama pun bisa rontok oleh TikTok” adalah cara lain untuk mengatakan hal yang sama, yakni kesadaran kita perlu ditopang oleh nalar yang sehat, bukan nostalgia pada tradisi semata.

Mochtar Lubis dalam esainya “Manusia Indonesia” mengingatkan tentang sifat ambivalen bangsa. Ia menjelaskan bahwasanya kita sering terjebak pada romantisme masa lalu, tetapi sekaligus terpesona pada modernitas tanpa fondasi. Hasilnya adalah masyarakat yang rapuh dan mudah hanyut.

Di titik inilah orang Sasak perlu membedakan antara tradisi dan kebudayaan. Tradisi adalah produk, sementara kebudayaan adalah proses penciptaan berkelanjutan. Tetapi Adam juga perlu mengingat, bahwa tugas kita bukan menolak tradisi, melainkan menempatkannya dalam dialektika dengan nalar baru. Sapuk, dodot, atau presean bisa saja bertahan, tetapi ia harus ditafsir ulang, diberi makna baru, atau bahkan melahirkan produk-produk kebudayaan baru yang sesuai zaman.

Bila kita menengok pengalaman bangsa lain, Jepang misalkan, mereka tetap mengenakan kimono dalam upacara adat, tetapi sekaligus melahirkan teknologi Shinkansen, anime, dan robot humanoid. Atau Korea Selatan, hanbok tetap dipakai, tetapi K-Pop, drama, dan teknologi digital menjadikan mereka pusat budaya global. Bahkan Amerika Serikat, yang tidak punya tradisi tua sekuat Asia, berhasil menciptakan budaya popular seperti film, musik, teknologi sebagai kekuatan hegemonik dunia. Juga Rusia dengan kesusastraan dan musik klasiknya, tetap memadukan kekuatan kebudayaan dengan sains dan politik.

Kuncinya satu, tradisi tidak cukup. Yang diperlukan adalah nalar produktif yang terus menerjemahkan nilai leluhur ke dalam konteks baru.

Di Indonesia, sesungguhnya kita juga punya contoh, Ki Hajar Dewantara tidak sekadar melestarikan gamelan atau tarian Jawa, melainkan mengolahnya sebagai sarana pendidikan modern. H.B. Jassin mengarsipkan kesusastraan bukan sebagai benda mati, tetapi sebagai rujukan bagi lahirnya generasi penulis baru, Putu Wijaya mengambil semangat Bali untuk dijadikan roh di pertunjukan-pertunjukan teaternya, kemudia ada Nnao Riantiarno menjadikan teater tradisi sebagai jiwa dari pertunjukan teater modern yang diteima dengan baik oleh penontonnya, masih banyak lagi contoh yang bisa ditampilkan bagaimana kekayaan tradisi tidak saja jadi artefak yang dipuja melainkan semangat yang bisa dihidupkan dalam konteks kebudayaan hari ini dan yang akan datang.

Jalan keluar sudah lama ditunjukkan oleh para pemikir kita sendiri, budaya harus hidup dalam dialektika, bukan dalam pengawetan.

Dari kritik Adam, ada beberapa catatan penting bagi MAS dan masyarakat Sasak, pertama bedakan antara tradisi dan budaya. Tradisi hanyalah produk sedangkan budaya adalah proses penciptaan terus-menerus, kemudian belajar pada leluhur dengan cara meniru nalar mereka, bukan hanya produk mereka. Leluhur kita kreatif, karena itu kita pun harus kreatif. Lalu membuka ruang tafsir baru. Simbol-simbol tradisi harus bisa dibaca ulang sesuai konteks zaman. Terakhir menginstitusikan kebudayaan ke arah depan. MAS seharusnya bukan sekadar penjaga tradisi, tetapi menjadi laboratorium nalar budaya, tempat kritik, riset, dan inovasi dilahirkan.

Pada akhirnya, Adam Gottar Parra ingin menyatakan bahwa kesadaran Sasak hari ini memang masih belum sepenuhnya bernalar. Kita sering terpana oleh produk leluhur, hingga lupa bahwa leluhur pun melahirkan produk itu karena berani bernalar.

Sebagaimana diingatkan STA, Soedjatmoko, Ki Hajar, dan Mochtar Lubis, kebudayaan yang sejati adalah kebudayaan yang hidup, yang sanggup berdialektika dengan zaman. Maka, kesadaran yang dibangun di atas nalar yang benar bukanlah slogan kosong, melainkan satu-satunya jalan agar kebudayaan Sasak tidak menjadi fosil, tetapi menjadi sumber daya hidup untuk masa depan.


(Penulis merupakan pelaku kesenian di NTB)




0Komentar

Special Ads