TpdoGSGpGSriTfMlGpGlBSziTY==
Light Dark
Nasi Kaput Naik Harga, Sawah di Lobar Jadi Tersangka

Nasi Kaput Naik Harga, Sawah di Lobar Jadi Tersangka

Daftar Isi
×

 

foto: Nasi kaput yang dijual di sekitar Kediri

Oleh: Syamsul Fahmi (Sekretaris DPD Tani Merdeka Indonesia Lobar). 

Lombok Barat, PolitikNTB.Com–Pernahkah mengalami saat-saat lapar, lalu mampir ke warung langganan untuk pesan nasi kaput, lalu malah kaget melihat harganya sudah naik seribu rupiah? Jangan buru-buru salahkan penjualnya. Bisa jadi penyebabnya justru karena petak sawah yang pelan-pelan hilang di Lombok Barat.

Alih fungsi lahan sawah di Lobar kini semakin kentara. Dari Gerung, Labuapi, Kediri, sampai Narmada, sawah-sawah subur mulai berubah wajah jadi deretan perumahan, ruko, hingga villa wisata. Di Batu Layar dan Senggigi, pemandangan serupa juga terjadi. Dari luar, ini tampak sebagai tanda kemajuan. Tapi, kalau ditarik benang merah, yang ikut 'naik kelas' bukan hanya kawasan wisata, melainkan juga harga nasi kaput di warung pinggir jalan.

Logikanya sederhana. Setiap jengkal sawah yang lenyap, ikut lenyap juga hasil panennya. Kalau jengkal demi jengkal terus berkurang hingga sampai ber-hektare-hektar hilang, bisa-bisa 9 juta porsi nasi kaput ikut menguap juga harganya dari peredaran.

Akibatnya, beras makin langka di pasar lokal, distribusi bergantung pasokan luar pulau, ongkos naik, atau macet di pelabuhan. Hasil akhirnya, sepiring/seporsi nasi kaput yang dulu lima ribu, bisa rupiah saja besok jadi enam ribu rupiah, bahkan tujuh ribu rupiah dan seterusnya.

Yang sering luput dari perhatian kita, hilangnya sawah bukan hanya soal beras berkurang, irigasinya juga rusak, harus beralih ke pompa dengan biaya meningkat, petani yang tersisa makin berat beban produksinya. Anak-anak muda juga makin enggan turun ke sawah karena hal itu. Di sisi lain, warung kecil hingga restoran di Lombok Barat terhimpit biaya bahan baku yang terus merangkak naik.

Lombok Barat ini memang rawan. Letaknya yang dekat Mataram membuat harga tanah terus melambung ditambah kenyataan bahwa investor wisata terus berdatangan. Tanpa tata ruang yang ketat, sawah produktif hanya akan tinggal cerita untuk anak cucu kita.

Di sinilah pentingnya Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Lombok Barat berpihak pada sawah. RTRW bukan sekadar dokumen formal, tapi peta masa depan. Jika dalam RTRW pemerintah berani menetapkan kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) secara jelas, memberi perlindungan “sawah abadi” desa, serta membatasi konversi lahan produktif jadi beton dan bangunan, maka masa depan nasi kaput bisa lebih aman. Tanpa itu, RTRW hanya akan jadi legitimasi sah untuk menjual sawah demi investasi jangka pendek, sementara pangan rakyat terabaikan.

Kembali ke nasi kaput. Kalau kita ingin nasi kaput harganya tetap merakyat, solusinya bukan menghentikan pembangunan, tapi menata arahnya. Sawah produktif perlu dilindungi lewat RTRW yang visioner, bukan kompromistis. Pemerintah bisa dorong rumah susun, bukan horizontal yang makan lahan. Selain itu, kawasan permukiman dibangun pada lahan yang bukan merupakan sawah produktif. Petani perlu insentif, bukan hanya imbauan. Dan warga, bisa ikut menjaga sawah lewat kesepakatan desa, supaya tidak pelan-pelan habis. Agar nasi kaput tidak meroket harganya.

Pada akhirnya, kalau nanti harga nasi kaput di warung langganan tiba-tiba naik, jangan bingung. Ingatlah, di balik naiknya harga, ada sebabnya, yakni sawah di Lombok Barat yang kian hari kian berkurang, berganti beton, perumahan, villa, dan bangunan lain yang membuat padi tak bisa tumbuh lagi di sana.

bersambung...

0Komentar

Special Ads