![]() |
foto: ilustrasi demo |
Oleh: Basriadi (Pengamat Politik STISDA)
Lombok Barat, PolitikNTB.Com—Dalam setiap dinamika politik dan pemerintahan, suara rakyat seharusnya menjadi panglima. Namun realitas di lapangan sering kali berbeda. Banyak kebijakan lahir tanpa keberpihakan pada kepentingan rakyat kecil, sementara pernyataan-pernyataan dari para pengambil kebijakan justru memicu kekecewaan yang semakin mendalam. Dari sinilah benih provokasi tumbuh, menjelma menjadi kemarahan rakyat yang sulit dibendung.
Provokasi pada dasarnya bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia lahir dari akumulasi rasa ketidakadilan, dari kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, hingga dari bahasa kekuasaan yang dingin, kaku, dan tanpa simpati. Bayangkan ketika rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok naik, sementara para pejabat justru mengumbar gaya hidup mewah atau melontarkan komentar yang meremehkan penderitaan. Situasi seperti itu adalah bensin yang siap disulut percikan api provokasi.
Fenomena terbaru memperlihatkan betapa kemarahan rakyat sudah berada di titik didih. Kasus penjarahan terhadap rumah Ahmad Syahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Menkeu Sri Mulyani menjadi potret nyata bahwa kecemburuan sosial dan kemarahan publik sedang memuncak. Peristiwa ini tidak bisa sekadar dibaca sebagai tindak kriminal biasa, tetapi sebagai simbol protes sosial terhadap ketimpangan, kesenjangan, dan gaya hidup pejabat maupun elite yang dianggap jauh dari realitas penderitaan rakyat.
Di sisi lain, dalam berbagai aksi demonstrasi, rakyat tidak hanya berhadapan dengan aparat sebagai pengawal ketertiban. Sering kali muncul tuduhan bahwa provokator yang memicu kericuhan justru berasal dari penyusupan aparat itu sendiri. Narasi semacam ini bukan tanpa dasar. Beberapa peristiwa di Indonesia memperlihatkan bahwa ketika demonstrasi awalnya berlangsung damai, tiba-tiba muncul tindakan destruktif yang memancing aparat bertindak represif. Ujungnya, citra demonstran yang menuntut hak justru dipelintir menjadi anarkis.
Kemarahan rakyat sejatinya adalah akumulasi dari kekecewaan struktural. Ketika kanal demokrasi tertutup, ketika aspirasi hanya ditampung sebatas seremoni tanpa tindak lanjut nyata, rakyat akan mencari jalan sendiri untuk didengar. Demonstrasi, protes jalanan, bahkan ledakan sosial bukanlah sesuatu yang muncul karena rakyat gemar ribut, melainkan karena pemerintah gagal membuka ruang dialog yang tulus.
Maka yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah bagaimana negara mengelola kebijakan dan komunikasi publiknya. Kebijakan yang pro-rakyat bukan sekadar jargon, melainkan kebijakan yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat kecil. Begitu pula komunikasi politik pejabat: harus penuh empati, rendah hati, dan menyentuh nurani, bukan malah melukai.
Provokasi dan kemarahan rakyat yang tak terbendung sebenarnya bisa dicegah jika pemerintah mau menata ulang cara berkuasa: mendengar dengan hati, membuat kebijakan dengan nurani, dan menempatkan rakyat sebagai subjek utama pembangunan. Sebab rakyat hanya marah ketika mereka merasa diabaikan. Dan ketika rakyat sudah marah, tidak ada kekuatan mana pun yang bisa menghentikannya.
0Komentar