Oleh: Ahmad Saleh Tabibuddin (Pembelajar Hukum)
Mataram, PolitikNTB.Com-Tulisan ini lahir dari percakapan dengan dua orang
kawan, yakni Salim Jagat dan Adi Ardiansyah di suatu sore di kantin kampus
Fakultas Hukum Universitas Mataram. Kami duduk di kantin kampus, tidak menyeruput
kopi, hanya menunggu pesan masuk ke gawai pintar, kapan perkuliahan HAM
dimulai. Tentu saja, percakapan itu berbaur dengan suara mahasiswa lain yang
bercakap-cakap.
Topik yang kami angkat sederhana: Hans Kelsen. Saya
menyebut bahwa Hans Kelsen ingin memisahkan hukum dari moral. Adi menanggapi
saya, katanya saya keliru membaca Kelsen. Sayang, sebelum diskusi mencapai
titik tenang, kami harus mengakhirinya. Di layar gawai pintar muncul
pemberitahuan bahwa dosen sudah menunggu di kelas HAM. Diskusi terpotong,
obrolan menggantung, dan saya beranjak membawa kegelisahan yang belum tuntas.
Sejak itu, pikiran tentang Kelsen memantik saya
pada pertanyaan, bagaimana bisa seorang filsuf hukum berani menempuh jalan yang
begitu radikal, memisahkan hukum dari moral, agama, bahkan politik? Saya
memutuskan menulis untuk melanjutkan diskusi. Bagaimanapun, seperti kalimat
Prof. Widodo, filsafat yang baik dimulai oleh pertanyaan, kendati akhirnya pun
adalah pertanyaan juga.
Bagi saya, Hans Kelsen bukan sekadar seorang
sarjana hukum. Lebih jauh, ia adalah ‘pembongkar kemafanan’, seorang progresif
ulung. Di masanya, banyak orang masih menganggap hukum sebagai perpanjangan
tangan moral atau hukum Tuhan. Namun Kelsen datang dengan ketekunan seorang
intelektual, merobohkan keyakinan lama itu, lalu mendirikan bangunan baru yang
disebutnya Teori Hukum Murni.
Di hadapan sejarah, ia tampak seperti seorang
arsitek yang keras kepala, membuang ornamen, menolak hiasan, hanya ingin
menyisakan kerangka bangunan hukum yang berdiri tegak tanpa ditopang
nilai-nilai eksternal. Ia percaya, hanya dengan cara itu hukum bisa menjadi
disiplin ilmiah, sebagaimana fisika berdiri tanpa harus meminjam tafsir dari
biologi, atau matematika tak pernah bergantung pada teologi.
Kegelisahan saya terhadap Kelsen muncul sebetulnya
bukan saja karena ia menolak moral atau agama, melainkan justru karena ia
memilih jalannya sendiri, yakni jalur yang terjal, penuh risiko. Ia sadar
betul, memisahkan hukum dari moral, pada masa itu, ibarat menarik diri dari
samudra nilai yang sudah berabad-abad menjerat hukum dalam simpulnya. Namun
bagi Kelsen, keberanian itu perlu.
Ia mengingatkan bahwa moral berbeda-beda di setiap
tempat, agama pun tidak tunggal. Jika hukum bersandar pada salah satunya, ia
akan menjadi bias, pincang, bahkan menindas. Maka hukum harus belajar berdiri
sendiri, seperti seorang pengembara yang berjalan dengan tongkatnya sendiri,
tidak bersandar pada pundak siapa pun.
Begitu saya bayangkan si Kelsen ini. Balik lagi, bila
kita coba berimajinasi kembali pada masa lalu, masa di mana ia hidup, hukum
tertinggi adalah kebenaran moral, kebenaran religiusitas. Kurang radikal apa
beliau ini?
Dalam kerangka pikir Kelsen, hukum adalah sistem
norma. Norma itu berlaku bukan karena ia benar secara moral atau suci secara
religius, melainkan karena ia diciptakan oleh otoritas yang sah. Sebuah
undang-undang tidak harus baik menurut hati nurani, yang penting ia sah menurut
prosedur.
Inilah yang membuat Kelsen berbeda. Ia bicara
tentang das sollen, tentang apa yang seharusnya berlaku sebagai norma,
bukan das sein, bukan apa yang ada atau apa yang dianggap baik. Moral
dan religiusitas, bagi Kelsen, terlalu dekat dengan das sein, terlalu
lekat dengan interpretasi manusia tentang kebenaran dan kesucian. Sedangkan
hukum, menurutnya, harus dijaga agar tetap steril, agar tidak diracuni oleh
nilai-nilai yang bisa berubah sesuai tempat dan waktu.
Bayangkan suasana sebuah sidang hakim. Seorang
terdakwa berdiri di hadapan majelis, seluruh mata memandang kepadanya. Hakim
tidak boleh memutus dengan sekadar perasaan. Ia tidak boleh membiarkan moral
pribadinya mendikte jalannya sidang. Ia harus membaca berkas, memeriksa pasal,
dan mengacu pada undang-undang. Di balik ketukan palu itu, ada seluruh sistem
norma yang menopangnya, dari undang-undang, peraturan pemerintah, konstitusi,
sampai norma dasar yang menjadi legitimasi. Inilah Stufenbau yang
dimaksud Kelsen. Keputusan kecil di ruang sidang itu sah bukan karena hakim
merasa benar, tetapi karena ia mendapat legitimasi dari hierarki norma yang
lebih tinggi.
Contoh konkret tampak dalam kasus nenek pencuri
kakao. Secara hukum, delik pencurian terpenuhi. Hakim harus memutus bersalah
karena itulah perintah norma. Namun, hakim yang memutus perkara itu justru
mengeluarkan uang pribadi dan mengajak semua hadirin sidang untuk membayar
denda agar sang nenek terbebas dari hukuman penjara. Peristiwa ini
menggambarkan persis apa yang dimaksud Kelsen, bahwa hukum berjalan dengan
kepastian formal, sementara moral dan religiusitas bekerja di luar hukum
sebagai solidaritas kemanusiaan.
Kelsen mengajarkan asas kemurnian hukum. Hukum
harus dipisahkan dari moral, politik, agama, dan sosiologi. Tugas ilmu hukum
hanyalah menjelaskan hukum sebagaimana adanya, sebagai das sollen, bukan
menilai apakah hukum itu adil atau sesuai moral. Ia merumuskan asas hierarki
norma, bahwa hukum tersusun dari yang paling tinggi hingga paling rendah, dan
puncaknya adalah Grundnorm, norma dasar yang hipotetis, asumsi yang kita
terima agar seluruh sistem hukum dapat bekerja. Dari sana lahirlah asas
legalitas formal, yakni aturan disebut hukum bukan karena adil, melainkan
karena lahir dari prosedur sah. Sah menurut tata cara pembentukan hukum berarti
berlaku sebagai hukum, meskipun isinya bisa diperdebatkan secara moral.
Di situlah letak asas kepastian hukum. Hukum harus
bisa diprediksi, ditegakkan konsisten, agar hakim tidak terjebak tafsir
subjektif. Hukum bagi Kelsen adalah otonom, disiplin yang berdiri sendiri.
Bukan hanya moral dan religiusitas, ia pun menolak campur tangan politik atau
budaya ke dalam tubuh ilmu hukum.
Sebuah undang-undang sah karena dibuat lembaga yang
berwenang, bukan karena dianggap baik oleh hati nurani. Validitas formal, bukan
substansi, itulah prinsip yang ia tegaskan. Hukum dianggap sah jika memenuhi
prosedur, tidak penting apakah sesuai moral atau agama. Moral dan agama tetap
penting dalam kehidupan sosial, tetapi bukan sumber utama bagi hukum.
Penerapan pandangan ini bisa kita lihat jelas dalam
praktik hukum di Indonesia. Ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan sebuah
undang-undang inkonstitusional, maka keputusan itu harus ditaati meskipun
banyak yang merasa secara moral undang-undang itu seharusnya tetap berlaku.
Atau ketika seorang hakim menyatakan seseorang bersalah, putusan itu bukan
karena hakim merasa terdakwa jahat secara pribadi, melainkan karena bukti-bukti
hukum dan prosedur yang sah menunjukkannya. Begitulah hukum ditegakkan bukan
berdasarkan moral atau perasaan, tetapi karena adanya validitas formal dari
aturan yang berlaku.
Kelsen menekankan bahwa hukum adalah soal sah atau
tidaknya, bukan soal adil atau tidaknya. Adil adalah urusan etik, yang bisa
diperdebatkan oleh filsafat, agama, atau seni. Karena itu, hukum bisa saja
terasa dingin, kaku, bahkan absurd.
Sebagai orang teater, saya sering merasakan ironi
itu. Dalam panggung absurd seperti naskah-naskah Albert Camus, manusia
digambarkan berhadapan dengan dunia yang tidak memberi jawaban pasti, dunia
yang seperti mengejek pencarian makna kita. Hukum pun sering terasa seperti
itu, orang berharap keadilan, tetapi yang datang adalah formalitas prosedural
yang bisa mengabaikan rasa keadilan.
Analogi Sisyphus dari Camus memberi gambaran paling
tajam. Seorang manusia yang tanpa henti mendorong batu ke puncak gunung, hanya
untuk menyaksikannya jatuh kembali. Begitu seterusnya, tanpa akhir. Begitu pula
hukum, setiap kali ada undang-undang yang dianggap tidak adil, masyarakat
mendorong agar ia digugat, diperbaiki, atau diubah. Tetapi setelah perbaikan
dilakukan, selalu muncul masalah baru, dan perjuangan harus dimulai lagi.
Namun, sebagaimana Camus mengajarkan kita untuk membayangkan Sisyphus yang
bahagia, demikian pula kita harus memandang hukum. Bukan sebagai sesuatu yang
memberi akhir dari pencarian, melainkan sebagai proses tanpa henti yang harus dijalani.
Di ruang sidang, absurditas itu sering tampak.
Seorang korban mungkin merasa keadilan tidak hadir, seorang terdakwa mungkin
merasa dihukum oleh aturan yang kaku, dan masyarakat menyaksikan sebuah drama
hukum yang dingin. Sebagai orang teater, saya melihat hukum tak ubahnya sebuah
pementasan, dengan naskah yang sudah ditentukan dan aktor-aktor yang harus
memainkannya tanpa bisa mengubah alur besar ceritanya. Absurd, ya, tetapi di
situlah hukum menemukan dirinya.
Kembali ke sore di kantin kampus bersama Salim
Jagat dan Adi, saya merasa perdebatan kami belum selesai. Barangkali memang
tidak akan pernah selesai. Hukum, moral, dan agama akan terus berkelindan,
saling tarik-menarik, seperti tiga arus sungai yang bertemu di satu muara.
Tetapi saya tetap berpihak pada keberanian Kelsen. Sebab di dunia yang penuh
suara, penuh klaim kebenaran, hukum butuh ruang sunyi, ruang di mana ia bisa
berdiri tegak sebagai hukum, tidak sebagai moral yang menyamar, tidak sebagai
agama yang menjelma, melainkan sebagai dirinya sendiri.
Dan mungkin, justru di situ letak keindahan
pemikiran Kelsen. Ia mengajarkan kita untuk berani berjalan sendiri, meski
harus berhadapan dengan sunyi yang panjang.
Tulisan ini saya tulis bukan untuk menutup diskusi
sore itu, melainkan untuk melanjutkannya. Agar sanggahan dari Adi, tawa kecil
Salim, dan kegelisahan saya sendiri tidak berhenti di kantin kampus, tetapi
terus bergema, menyalakan percakapan baru tentang hukum yang murni, hukum yang
berdiri di atas kakinya sendiri.
Tapi di saat saya menulis ini, saya juga teringat
sebuah kuliah legal reasoning bersama Lalu M. Hayyanul Haq. Di kelas
itu, Pak Haq menyebut nama Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman yang
awalnya sangat positivis, bahkan cukup dekat dengan semangat Kelsen. Namun
setelah menyaksikan bagaimana hukum dipakai oleh rezim Nazi untuk
menjustifikasi kejahatan kemanusiaan, Radbruch berbalik arah. Dari situlah
lahir apa yang dikenal sebagai Formula Radbruch.
Formulanya sederhana, tetapi mengguncang, bahwa,
jika sebuah undang-undang sah secara formal tetapi isinya sangat tidak adil,
maka undang-undang itu harus dianggap tidak berlaku sebagai hukum. Menurut
Radbruch, kepastian hukum memang penting, tetapi ia tidak boleh membunuh
keadilan. Ketika konflik antara kepastian hukum dan keadilan sudah terlalu
tajam, maka keadilanlah yang harus diprioritaskan.
Dengan kata lain, hukum tidak bisa lagi dipandang
murni seperti mesin netral sebagaimana diinginkan Kelsen, tapi hukum harus
tetap diikat pada nilai-nilai kemanusiaan. Saya masih ingat jelas bagaimana Pak
Haq, yang tentu saja sangat saya hormati, menjelaskan formula Radbruch, kurang
lebih dengan kalimat:
“Hukum itu memang harus pasti, tapi hukum juga
harus adil. Kalau kepastian dan keadilan bertabrakan, hukum yang tidak adil itu
kehilangan sifatnya sebagai hukum.”
Kalimat itu menancap kuat di kepala saya, seolah
menjadi kontra-narasi dari Kelsen. Di satu sisi saya terpesona dengan
radikalisme Kelsen yang ingin memurnikan hukum, di sisi lain saya tidak bisa
mengabaikan peringatan Radbruch bahwa hukum tanpa keadilan adalah kekosongan.
Kritik Radbruch ini seakan melengkapi kegelisahan
yang lahir dari diskusi sore itu di kantin kampus. Bahwa mungkin Kelsen benar
ketika ingin hukum steril dari moralitas agar tidak ditafsirkan sewenang-wenang.
Tapi Radbruch juga benar ketika mengingatkan bahwa hukum yang steril bisa
berakhir menjadi tirani.
Dan di antara dua kutub itu, saya sebagai
pembelajar hukum, atau bahkan sebagai warga biasa, dituntut waspada, untuk
jangan terlalu fanatik pada kemurnian hukum, tetapi juga jangan larut dalam
relativitas moral yang cair.
Jika dibandingkan, Kelsen dan Radbruch berada di
dua kutub yang berbeda. Kelsen menegaskan hukum harus murni, dipisahkan dari
moralitas dan religiusitas, karena hanya dengan itu kepastian hukum bisa
terjamin. Ia bicara tentang validitas formal, bukan tentang isi moral hukum.
Sementara Radbruch menyanggah, hukum tidak bisa
dilepaskan sepenuhnya dari keadilan. Jika sebuah hukum melawan prinsip keadilan
yang paling mendasar, maka hukum itu tidak pantas lagi disebut hukum, meski sah
secara prosedural.
Kendati berempati pada dua pandangan ini, saya
tetap memilih berdiri pada Kelsen. Alasannya sederhana, dalam masyarakat plural
seperti Indonesia, moral dan agama tidak pernah tunggal. Jika hukum didasarkan
pada moral atau agama, ia akan terjebak dalam relativitas tafsir. Apa yang
dianggap benar oleh kelompok A bisa ditolak oleh kelompok B. Di titik inilah
hukum justru akan kehilangan netralitasnya.
Dengan memurnikan hukum dari moral dan
religiusitas, Kelsen ingin memberi pagar, biarkan keadilan diperdebatkan dalam
filsafat, agama, atau politik, tetapi biarkan hukum bekerja pada ranahnya
sendiri. Bukan berarti kritik Radbruch tidak penting. Kritik itu tetap relevan,
terutama untuk mengingatkan kita agar hukum tidak dijadikan alat tirani. Tetapi
kritik tersebut berada di wilayah etika dan filsafat keadilan, bukan pada
jantung teori hukum murni Kelsen.
Dengan demikian, ketika saya mengatakan Kelsen
memisahkan hukum dari moral dan religiusitas, itu bukan kesalahpahaman. Justru
itulah inti radikalitas Kelsen, bahwa keberaniannya menegaskan hukum adalah
hukum, bukan moral yang menyamar, bukan agama yang menjelma.
Kembali ke sore bersama Salim Jagat dan Adi, saya
ingin menegaskan, saya tidak salah memahami Kelsen. Bahwa Kelsen memang
memisahkan hukum dari moral dan religiusitas. Kritik boleh datang dari Radbruch
atau dari siapa pun, tetapi kritik itu tidak mengubah inti teorinya. Yang bisa
kita lakukan hanyalah berdialog, menimbang, lalu memilih posisi. Dan saya
memilih tetap bersama Kelsen, dengan segala kesunyian yang menyertainya.
0Komentar