![]() |
gambar ilustrasi |
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) beserta perubahan-perubahannya, maupun Tata Tertib (Tatib) DPR, tidak mengenal kategori “nonaktif” bagi anggota. Yang ada hanya dua rel resmi, pemberhentian (yang berujung Pergantian Antar Waktu/PAW) dan pemberhentian sementara dalam kondisi sangat terbatas. Karena itu, “nonaktif” adalah bahasa politik, bukan status hukum.
Arsitektur hukumnya tegas. Pasal 239 UU MD3 menyebut anggota DPR berhenti antar waktu karena tiga hal yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Berikutnya, Pasal 240–243 mengunci tata cara PAW, dimulai dari usulan resmi dari partai ke pimpinan DPR, diteruskan ke Presiden, lalu pengisian kursi berdasarkan urutan suara KPU yang semuanya dalam tenggat harian yang rinci. Tidak ada satu pasal pun yang membuka ruang “nonaktif” sebagai status antara. Jadi, begitu partai mengumumkan “nonaktif”, status konstitusional orang itu tak bergeser sejengkal pun sebab ia tetap anggota DPR sampai proses PAW tuntas.
Bagaimana dengan “membekukan” sementara? Tatib DPR memang mengenal pemberhentian sementara, tetapi syaratnya sangat spesifik yakni ketika seorang anggota sudah berstatus terdakwa, antara lain untuk perkara pidana umum berancaman minimal lima tahun atau tindak pidana khusus. Mekanismenya juga formal dimulai dengan pimpinan DPR meminta konfirmasi status hukum, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memverifikasi dan memutus, lalu Rapat Paripurna menetapkan. Artinya, itu bukan jargon fraksi, melainkan keputusan lembaga. Bahkan, Tatib menulis terang, “Anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dengan kata lain, sekalipun “diparkir” sementara karena alasan hukum yang ketat, hak keuangannya tidak putus.
Di sinilah jawaban mengapa mereka yang diumumkan “nonaktif” tetap menerima gaji. Pertama, karena secara hukum mereka masih anggota DPR, SK pengangkatan belum dicabut, PAW belum terjadi. Kedua, bahkan dalam skenario paling keras yang benar-benar diakui aturan seperti pemberhentian sementara, Tatib tetap menjamin hak keuangan. Maka, penghentian gaji hanya mungkin jika status keanggotaannya sudah gugur lewat mekanisme PAW atau pemberhentian tetap.
Adakah preseden “anggota DPR nonaktif” sebagai status resmi? Jawabannya idak ada. Yang ada hanyalah penggunaan istilah “nonaktif” dalam wacana politik atau pemberitaan media, misalnya ketika ada desakan agar “anggota DPR nonaktif” di kasus masa lalu, atau ketika seorang anggota yang ditangani penegak hukum disebut “anggota DPR nonaktif” oleh media.
Hal tersebut label komunikasi, bukan kategori hukum yang lahir dari UU MD3 atau Tatib. Status formal tetap bergantung pada dua rel tadi, yakni rel pemberhentian (PAW) atau pemberhentian sementara karena sudah jadi terdakwa, dengan prosedur DPR. Karena itu, penempelan kata “nonaktif” oleh partai pada seorang anggota, tanpa dasar prosedural DPR, lebih tepat dibaca sebagai akrobat politik untuk meredam emosi publik seraya menjaga ruang manuver internal.
Konsekuensinya serius bagi kesehatan demokrasi. Pertama, ia menciptakan “penipuan optik” karena publik mengira ada tindakan tegas, padahal hak-hak jabatan masih melekat penuh. Kedua, ia mendorong ambiguitas akuntabilitas, sebab partai tampak bertindak, negara tetap membayar. Ketiga, ia melemahkan literasi hukum pemilih, sebab orang diajak percaya pada istilah yang tidak diakui norma. Sementara itu, hukum sudah menyiapkan pintu yang benar, kalau partai memang berketetapan, tempuh PAW sesuai Pasal 239–243, kalau perkara telah naik ke tingkat “terdakwa”, gunakan pemberhentian sementara melalui mekanisme MKD sebagaimana diatur Tatib. Di luar itu, tidak ada “ruang tengah” bernama nonaktif.
Apa yang semestinya dilakukan? Pertama, hentikan praktik kosmetik istilah. Partai harus bicara jujur apakah mereka akan mengusulkan PAW atau sekadar mencabut penugasan fraksi. Kedua, DPR perlu menertibkan komunikasi kelembagaan, setiap pernyataan ke publik harus merujuk norma yang berlaku, bukan istilah yang membingungkan. Ketiga, jika negara ingin memberi instrumen sanksi administratif yang benar-benar memutus hak keuangan sebelum PAW (misalnya untuk kasus etik berat), maka perubahan norma, baik di UU MD3 maupun Tatib, harus dirumuskan eksplisit, dengan pagar prosedural ketat agar tak jadi alat represi politik. Tanpa itu, “nonaktif” akan tetap menjadi tirai asap, sebab tampak keras di panggung, kosong di lembar hukum.
Intinya sederhana, dalam negara hukum, status anggota DPR hanya berubah lewat jalur yang tertulis. UU MD3 dan Tatib tidak mengenal “nonaktif”. Selama belum ada PAW atau pemberhentian tetap, hak-hak keuangan dan kedudukan hukum tetap melekat, bahkan dalam pemberhentian sementara yang sah sekalipun, Tatib masih menjaminnya. Apa pun di luar itu hanyalah seni berbahasa, dan demokrasi tidak boleh dibangun di atas permainan kata.
Beralih pada telaah sudut sosiologi politik, praktik “menonaktifkan” anggota DPR tanpa dasar jelas hanyalah bentuk simbolisme kekuasaan partai yang ingin menunjukkan kendali atas kadernya. Tetapi simbolisme ini berbahaya, karena mencampuradukkan domain partai dengan domain konstitusi. DPR bukanlah kepanjangan tangan partai semata, melainkan representasi rakyat yang terikat pada aturan hukum nasional, bukan sekadar keputusan internal partai. Di titik ini, publik berhak menilai bahwa ada kesewenang-wenangan yang bisa menciderai demokrasi itu sendiri.
Dari perspektif teori keadilan Amartya Sen, ketidakadilan bukan hanya lahir dari pelanggaran hukum, tetapi juga dari kegagalan menciptakan institusi yang memungkinkan semua pihak menjalankan perannya secara fair. Ketika seorang anggota DPR yang sudah dipilih rakyat tiba-tiba dinonaktifkan secara administratif oleh partai, sementara hak-hak keuangannya tetap berjalan, kita melihat kontradiksi, bahwa rakyat kehilangan wakilnya secara penuh, tetapi negara tetap membayar “kursi kosong” itu. Dalam logika Sen, ini merupakan bentuk ketidakbebasan yang nyata, karena kebebasan rakyat untuk diwakili terampas oleh keputusan yang tidak berakar pada hukum publik.
John Rawls melalui teori justice as fairness memberikan pandangan bahwa keadilan politik seharusnya dibangun di atas prinsip kesetaraan hak dasar. Hak duduk di parlemen adalah mandat rakyat yang tidak bisa dibatalkan oleh mekanisme internal organisasi politik. Jika prinsip ini dilanggar, maka yang lahir adalah ketimpangan representasi, sebagian rakyat kehilangan hak suaranya, sementara elite partai tetap mengontrol kursi tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Rawls menekankan bahwa lembaga publik harus diatur sedemikian rupa agar posisi yang dihasilkan bukanlah instrumen dominasi kelompok tertentu.
Dalam kerangka psikologi massa, kebijakan ambigu seperti ini bisa memicu kekecewaan berantai. Publik melihat pejabat politik tidak konsisten, di satu sisi berbicara soal moralitas dan integritas, di sisi lain memperlihatkan “kemewahan” dan flexing kekayaan di media sosial. Kesenjangan ini menjadi bahan bakar psikologis bagi massa untuk merasa dipermainkan, ditambah lagi komunikasi politik pejabat yang sering kali arogan atau menyepelekan. Pernyataan-pernyataan seperti yang dilontarkan anggota DPR dalam situasi sensitif justru memperbesar jarak psikologis antara penguasa dan rakyatnya. Dalam psikologi sosial, jarak inilah yang sering berubah menjadi kemarahan kolektif, dan pada titik tertentu menjadi demonstrasi besar-besaran.
Negara seharusnya diatur dengan prinsip yang sederhana namun tegas, mandat publik dijalankan dengan transparan, hak-hak rakyat dilindungi, dan pejabat tidak boleh dibiarkan bermain-main dengan posisi politik mereka. Pemisahan yang jelas antara domain partai politik dan domain lembaga negara mutlak diperlukan. Jika tidak, parlemen akan berubah menjadi arena eksklusif tempat partai melakukan kontrol internal tanpa peduli pada mandat konstituennya.
Akhirnya, jika kita bertanya mengapa anggota DPR yang dinonaktifkan masih menerima gaji, jawabannya terletak pada fakta bahwa hukum positif tidak mengenal istilah “nonaktif” bagi anggota legislatif. Secara administratif mereka tetap berstatus anggota DPR, sehingga gaji dan tunjangan tetap berjalan. Namun secara politik, mereka telah “dimatikan” oleh partai. Inilah paradoks demokrasi Indonesia, rakyat membayar untuk kursi yang kosong secara fungsional, sementara partai tetap memanfaatkan simbol kursi itu untuk kepentingan kekuasaan internal.
Dalam demokrasi yang sehat, kontradiksi semacam ini tidak boleh dibiarkan. Negara perlu memastikan bahwa jabatan publik hanya bisa dibatasi atau dihentikan dengan dasar hukum yang jelas, bukan keputusan sepihak partai. Dengan begitu, representasi politik tetap utuh, keadilan terjaga, dan kepercayaan publik terhadap institusi tidak semakin terkikis.
Oleh: Tim Redaksi
0Komentar