TpdoGSGpGSriTfMlGpGlBSziTY==
Light Dark
Paradigma Pembangunan: Rostow Menuju Punah, Amartya Sen Menolak Punah

Paradigma Pembangunan: Rostow Menuju Punah, Amartya Sen Menolak Punah

Daftar Isi
×

 


Oleh: Lalu M. Salim Iling Jagat (Pengamat Kebijakan Publik)

Lombok Barat, PolitikNTB.Com-Selama puluhan tahun, pembangunan dimaknai sebagai jalan tunggal menuju kemajuan. Di atas nama pembangunan, berbagai kebijakan diambil, proyek-proyek dijalankan, dan sumber daya alam dieksploitasi. Namun, jarang sekali kita menoleh pada akibat-akibat lain yang lahir dari obsesi pembangunan itu, yakni kerusakan lingkungan hidup.

Paradigma pembangunan yang lahir dari logika ekonomi modern selalu menempatkan pendapatan (income) sebagai ukuran utama kesejahteraan, seakan-akan kenaikan angka rata-rata nasional sudah cukup untuk menandai keberhasilan.

Pandangan itu sangat dipengaruhi oleh agenda global lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia, yang mendorong negara-negara berkembang mengejar pertumbuhan ekonomi, bagaimanapun caranya. Maka, pembangunan menjadi jargon utama, terutama pada masa Orde Baru.

Bahkan, istilah “Kabinet Pembangunan” menjadi simbol politik yang melekat pada rezim tersebut. Tetapi, setelah lebih dari tiga dekade menjalankan ‘rezim pembangunan dan teori pertumbuhan’, cita-cita kemajuan itu tidak sepenuhnya terwujud. Yang tersisa justru kesenjangan sosial yang melebar dan lingkungan yang semakin rusak.

Data mutakhir memperlihatkan dampak krisis ekologi yang nyata. Indonesia, misalnya, tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi, polusi udara kronis, dan penyumbang besar emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan.

Laporan IPCC Sixth Assessment Report (2023) bahkan menegaskan bahwa krisis iklim sudah di ambang batas berbahaya, yaitu setiap kenaikan suhu bumi meski hanya sepersepuluh derajat membawa konsekuensi bencana bagi kesehatan, pangan, air, dan kelangsungan hidup manusia serta spesies lain. Dengan kata lain, kita sedang mewariskan ancaman kepunahan kepada generasi mendatang.

Pembangunan selalu menjadi kata kunci dalam wacana politik, ekonomi, dan kebijakan publik, baik di negara maju maupun negara berkembang. Namun, apa yang dimaksud dengan pembangunan tidak pernah tunggal, melainkan selalu diperdebatkan. Dua pemikir besar yang memberikan pijakan berbeda adalah Walt Whitman Rostow dengan paradigma pertumbuhan ekonomi linear dan Amartya Sen dengan paradigma pembangunan sebagai kebebasan.

W.W. Rostow dalam The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto (1960) memandang pembangunan sebagai sebuah proses linier dengan lima tahap: traditional society, preconditions for take-off, take-off, drive to maturity, dan age of high mass consumption. Dalam kerangka ini, pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang industrialisasi, urbanisasi, dan ekspansi konsumsi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin dianggap maju sebuah negara.

Indonesia pada masa Orde Baru jelas mengadopsi kerangka ini. Pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas tujuh persen per tahun pada 1980-an menjadi kebanggaan nasional. Industrialisasi masif, pembangunan infrastruktur besar-besaran, dan modernisasi pertanian lewat Revolusi Hijau adalah cerminan langsung dari logika Rostowian. Namun, pembangunan ini bersifat top-down, teknokratis, dan sering kali mengabaikan dimensi sosial, budaya, serta ekologis. Paradigma pembangunan yang dominan di Indonesia sejak Orde Baru bertumpu pada teori pertumbuhan linear Rostow.

Pola itu dijalankan lewat Pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan rencana pembangunan jangka panjang, didukung bantuan serta utang luar negeri. Sayangnya, teori ini mengasumsikan pertumbuhan ekonomi akan otomatis membawa kesejahteraan. Faktanya, pertumbuhan seringkali tidak menetes ke bawah, sementara kerusakan lingkungan berlangsung massif.

Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, mengkritik paradigma pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Dalam Development as Freedom (1999), Sen menekankan bahwa pembangunan harus dimaknai sebagai perluasan kebebasan substantif manusia, seperti kebebasan untuk hidup sehat, mengenyam pendidikan, memiliki akses ekonomi, berpartisipasi politik, dan hidup bermartabat. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi bukan tujuan akhir, melainkan instrumen. Negara bisa kaya secara statistik, tetapi tetap miskin dalam kualitas hidup warganya jika kebebasan mereka tidak diperluas.

Dalam konteks Indonesia, pendekatan Sen mulai tampak relevansinya pasca-Reformasi. Demokratisasi, desentralisasi, peningkatan akses pendidikan, dan penekanan pada partisipasi publik adalah bentuk nyata pengaruh paradigma ini. Namun, realisasinya masih jauh dari ideal, adanya disparitas wilayah, maraknya politik uang, dan lemahnya akses keadilan sosial masih menghambat pembangunan yang benar-benar berorientasi pada manusia.

Sebagai antitesis terhadap logika Rostowian, Amartya Sen menekankan bahwa pembangunan harus dilihat bukan hanya sebagai alat untuk mencapai konsumsi, tetapi juga sebagai proses demokratis yang menjamin partisipasi, keadilan, dan keberlanjutan.

Sayangnya, paradigma Sen yang menekankan martabat manusia jarang diadopsi penuh. Indonesia masih terjebak dalam logika kapitalisme global, sebab pembangunan dipahami sebagai akumulasi pertumbuhan tanpa henti, padahal eberapa pemikir sejak lama sudah mengingatkan bahwa pertumbuhan tak mungkin berlangsung tanpa batas di bumi yang terbatas.

Kasus PLTU batubara di Cilacap, misalnya, memperlihatkan bagaimana energi memang diproduksi untuk industri, tetapi limbahnya mencemari sumur-sumur warga dan menyebabkan penyakit pernapasan. Ironisnya, hanya energi listrik dan produksi industrinya yang masuk hitungan Produk Domestik Bruto (PDB), sementara kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat dianggap “eksternalitas” yang tidak perlu dihitung.

Jika ditarik ke dalam sejarah, pembangunan Indonesia pasca-kemerdekaan hingga kini bisa dibaca sebagai dialektika dua paradigma ini. Era Orde Lama (1950–1965) fokus pada kemandirian ekonomi dan politik, tetapi gagal menciptakan pertumbuhan signifikan. Era Orde Baru (1966–1998) jelas Rostowian, yakni pembangunan identik dengan pertumbuhan, industrialisasi, dan stabilitas politik. Namun, ini juga melahirkan kesenjangan sosial, eksploitasi sumber daya alam, dan otoritarianisme.

Era Reformasi (1998–sekarang) mulai muncul nuansa Sen, seperti demokratisasi, HAM, pemerataan pendidikan, dan partisipasi politik. Tetapi sistem ekonomi neoliberal tetap dominan, sehingga logika pertumbuhan dan eksploitasi alam masih kuat. Dengan demikian, pembangunan Indonesia hari ini bisa dikatakan masih bercorak Rostowian dalam praktik ekonomi, namun seharusnya lebih meneguhkan paradigma Sen dalam politik dan kebijakan sosial.

Di sinilah kontradiksi tajam muncul. Model pembangunan ala Rostow yang berorientasi pada industrialisasi dan pertumbuhan tanpa henti telah melahirkan krisis ekologis. Deforestasi besar-besaran, ekspansi perkebunan sawit, ketergantungan pada batubara, pencemaran laut dan sungai adalah konsekuensi langsung dari paradigma pertumbuhan.

Sementara paradigma Sen dengan “pembangunan sebagai kebebasan” justru menuntut adanya pembangunan berkelanjutan. Lingkungan yang rusak jelas membatasi kebebasan generasi sekarang maupun mendatang. Tanpa udara bersih, air jernih, dan tanah subur, tidak ada kebebasan substantif yang bisa dijalankan.

Sejarah memperlihatkan bahwa sejak Konferensi Stockholm 1972, isu lingkungan sudah masuk ke panggung global. Rachel Carson lewat Silent Spring (1962) dan laporan The Limits to Growth (1972) telah memperingatkan bahwa bumi memiliki daya dukung terbatas.

Namun, peringatan itu sering hanya menjadi catatan kaki dalam kebijakan pembangunan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ironisnya, Indonesia masih terjebak dalam logika ganda, di satu sisi bicara sustainable development goals (SDGs), di sisi lain tetap memberi karpet merah pada ekspansi industri ekstraktif.

Paradigma pembangunan bukan sekadar wacana akademik, tetapi soal arah hidup bangsa. Rostow telah membuktikan dirinya usang, sebab pertumbuhan tanpa batas hanyalah jalan menuju kepunahan. Sen, sebaliknya, menunjukkan arah baru yakni pembangunan sebagai kebebasan, pembangunan yang berakar pada partisipasi, demokrasi, keadilan, dan keberlanjutan.

Indonesia hari ini berada di titik krusial, apakah tetap terjebak dalam jebakan pertumbuhan yang eksploitatif, atau berani melangkah menuju paradigma pembangunan yang lebih manusiawi, adil, dan ramah lingkungan? Pada akhirnya, persoalan pembangunan bukan hanya soal ekonomi-politik, tetapi juga soal etika keberlanjutan. Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik jargon pertumbuhan, ketika kenyataannya bumi sudah menjerit.

Kebijakan pembangunan harus berani keluar dari logika eksploitatif dan memulai jalan baru, yani jalan pembangunan yang adil, demokratis, dan ramah lingkungan. Jika tidak, maka pembangunan hanya akan menjadi ironi besar tentang sebuah kemajuan yang menghancurkan fondasi kehidupan itu sendiri.

0Komentar

Special Ads