TpdoGSGpGSriTfMlGpGlBSziTY==
Light Dark
Perubahan Iklim, Transisi Energi dan Keberulangan Krisis

Perubahan Iklim, Transisi Energi dan Keberulangan Krisis

Daftar Isi
×

 


Oleh: Lalu M. Salim Iling Jagat (Pengamat Kebijakan Publik)

Lombok Barat, PolitikNTB.Com-Pada 22 Maret 2023 lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merilis Synthesis Report (SYR)-Sixth Assessment Report (AR6) atau Sintesa Laporan Penilaian Keenam. Laporan tersebut semakin menegaskan bahwa dampak krisis iklim kini sangat nyata. Tidak ada lagi waktu untuk berkompromi, sehingga penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global harus dilakukan secara serius.

Ada beberapa poin penting dari laporan itu. Pertama, kerugian yang dialami umat manusia akibat krisis iklim sudah meluas dan bersifat substansial pada seluruh aspek kehidupan. Pilihan yang dibuat hari ini akan menentukan seberapa besar dampak krisis iklim terhadap generasi mendatang. Kedua, setiap kenaikan derajat celcius suhu bumi akan membawa pengaruh signifikan terhadap bencana iklim. Ketiga, dampak pemanasan global secara langsung akan menghantam sektor kesehatan, pangan, air, serta aspek dasar lainnya yang menopang hidup dan penghidupan. Keempat, terdapat risiko besar terhadap kepunahan spesies, baik di darat maupun di laut.

Namun, aksi nyata yang dilakukan banyak negara untuk menurunkan emisi GRK masih jauh dari target Perjanjian Paris. Energi fosil masih mendominasi, sementara agenda transisi energi di banyak negara, termasuk Indonesia, masih jauh dari harapan. Karena itu, penting melihat bagaimana jalannya transisi energi di Indonesia.

Transisi Energi Indonesia: Konteks dan Kritik

Pemerintah Indonesia tampaknya belum sepenuhnya serius dalam melaksanakan transisi energi. Hal ini terlihat dari sejumlah regulasi yang justru menunjukkan komitmen rendah.

Pertama, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Perpres ini masih membolehkan beroperasinya PLTU Batubara dengan skema co-firing (Pasal 1 angka 16). Padahal, skema ini jelas bukan energi terbarukan. Sebagai proses transisi mungkin bisa dimaklumi, tetapi dalam situasi krisis seharusnya pemerintah meningkatkan komitmen. Bahkan, Perpres ini tetap membolehkan pembangunan PLTU baru sepanjang sudah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Dalam RUPTL PLN 2021–2030 tercatat ada 37 PLTU baru yang direncanakan. Tidak hanya itu, PLTU baru juga masih bisa dibangun meskipun tidak ada dalam RUPTL, asalkan terintegrasi dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), memiliki komitmen menurunkan emisi minimal 35 persen dalam 10 tahun, serta masa operasi hingga tahun 2050 (Pasal 3 ayat (4)). Ketentuan ini memperlihatkan rendahnya komitmen pemerintah terhadap transisi energi. Padahal, laporan SYR-AR6 IPCC menargetkan sejak 2023 hingga 2050 semua negara harus mengurangi emisi hingga 99 persen.

Kedua, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Transisi energi yang dibingkai lewat RUU ini menyimpan kerawanan baru berupa eksploitasi dan ekstraksi lingkungan. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru berpotensi menimbulkan keberulangan krisis di masa depan.

Menurut laporan International Energy Agency (IEA), di Amerika Serikat terdapat 50 mineral kritis yang menjadi perhatian utama, di antaranya nikel, tembaga, litium, dan kobalt. Negara-negara maju lainnya juga memprioritaskan kebijakan terkait mineral kritis. Sementara itu, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, sehingga menarik perhatian negara-negara tersebut untuk mengimpor nikel dari Indonesia dalam skema rantai pasok global.

Jika skenario itu terjadi, Indonesia berpotensi mengorbankan lingkungannya untuk membersihkan lingkungan negara-negara maju. Tanda-tanda ini sudah terlihat di Sulawesi dan Maluku, di mana lingkungan rusak, hutan gundul, kampung-kampung warga terendam banjir, dan laut tercemar limbah akibat pertambangan nikel. Akhirnya, jika hutan rusak dan lingkungan hancur, keberulangan krisis iklim hanya tinggal menunggu waktu.

Cadangan nikel Indonesia saat ini juga tergolong kritis. Data menunjukkan cadangan terbukti hanya tersisa 9,5 tahun dengan kebutuhan pasokan nikel mencapai 114 juta ton per tahun. Ketika seluruh smelter nikel selesai dibangun dan beroperasi, cadangan terbukti hanya akan bertahan 5,5 tahun. Fakta ini pernah diberitakan oleh Kompas pada 8 Juni 2023 dengan judul “Cadangan Nikel Tersisa 5,5 Tahun, Daerah Justru Tak Rasakan Manfaat Signifikan”.

Di sisi lain, pemerintah semakin gencar mempromosikan motor dan mobil listrik. Padahal, rata-rata daya tahan baterai kendaraan listrik hanya 10 hingga 15 tahun. Konsekuensinya, akan ada penggandaan kebutuhan baterai dan eksploitasi tambang baru. Seharusnya pemerintah lebih serius mendorong transportasi publik, agar kebutuhan eksploitasi mineral bisa ditekan di masa depan. Dengan demikian, transisi energi melalui RUU EBT harus dirancang secara holistik, dari hulu hingga hilir.

Transisi Energi Bersih, Adil, Demokratis, dan Desentralistik

Dalam konteks ini, empat kata kunci yang harus menjadi pegangan adalah: bersih, adil, demokratis, dan desentralisasi. Energi harus dipahami sebagai hak asasi manusia berupa hak atas energi.

“Bersih” berarti sumber, proses, dan dampak pasca-produksinya tidak merusak lingkungan. “Adil” berarti akses dan distribusinya merata, sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmatinya. “Demokratis” berarti pengelolaan energi dilakukan secara partisipatif, melibatkan warga. Sedangkan “desentralisasi” berarti daerah, desa, dan komunitas harus mampu mandiri secara energi. Jika prinsip-prinsip ini tidak terpenuhi, maka sejatinya itu bukan energi terbarukan.

Langkah selanjutnya adalah memetakan potensi energi terbarukan di daerah secara partisipatif. Misalnya, di wilayah yang banyak memiliki ternak, potensi biogas harus ditangkap dalam RUU EBT agar dapat diatur secara matang sebagai sumber energi mandiri warga. Pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur instalasi biogas. Hal serupa juga berlaku di wilayah yang memiliki potensi biomassa atau di kawasan pesisir.

Sektor industri pun harus diarahkan sejak dini agar mandiri energi. Contohnya, hotel dan resort bisa diwajibkan memasang panel surya di atap atau memanfaatkan sumber energi lain yang ramah lingkungan.

Pada intinya, transisi energi harus dibahas dan dijalankan secara partisipatif. Jangan sampai terjadi elitisasi dalam agenda transisi energi, karena hal itu rawan salah arah. Partisipasi warga juga merupakan bagian dari hak asasi mereka dalam setiap agenda pembangunan.

 

0Komentar

Special Ads