Ketua PPDI NTB Wiro Hamdani
Lombok Barat, PolitikNTB.Com-Proses seleksi perangkat kewilayahan di Desa Banyu
Urip, Kecamatan Gerung, menuai sorotan dari Persatuan Perangkat Desa Indonesia
(PPDI) Provinsi NTB.
Ketua PPDI NTB, Wiro Hamdani, menilai tahapan seleksi yang
difasilitasi pihak kecamatan terindikasi cacat prosedur karena tidak dilakukan
secara transparan dan terkesan terburu-buru.
“Semestinya
setiap tahapan dilaksanakan dengan transparan dan terbuka agar tidak terjadi
ketidakpuasan seperti ini. Bila ada ketidakpuasan, itu dampak dari proses yang
tidak transparan,” kata Wiro, kepada PolitikNTB.Com, Jumat, (19/09/25).
Ia
menegaskan, aturan seleksi perangkat desa sudah jelas, yakni ada tes tertulis,
uji kepatutan dan kelayakan, serta wawancara yang masing-masing memiliki bobot
nilai tertentu. Namun, praktik di lapangan menurutnya, sering tidak konsisten
dengan aturan.
“Pengalaman
menunjukkan yang sering diabaikan adalah proses seleksi. Hasil akhir seharusnya
akumulasi dari semua nilai, bukan hanya wawancara yang sangat subyektif.
Makanya harus dilihat juga siapa tim fasilitatornya, apa saja soal yang
ditanyakan, dan bagaimana mekanisme penilaian. Semuanya harus jelas sesuai
aturan,” tegasnya.
Lebih
jauh, Wiro menduga proses seleksi Peangkat Kewilayahan di Banyu Urip yang
dijalankan secara tergesa-gesa memunculkan dugaan cacat prosedur.
“Patut
diduga unprosedural. Apalagi dengan hasil yang dipaksakan selesai satu hari,
terkesan sangat buru-buru,” tambahnya.
Salah
seorang Panitia Seleksi, Sinar, sebelumnya menjelaskan bahwa panitia telah
bekerja sesuai mekanisme dengan melibatkan tim fasilitator dari unsur Danramil,
kepolisian, dan camat. Ia menyebut soal ujian disiapkan langsung oleh tim
fasilitator, kemudian peserta diminta memeriksa kunci jawaban secara terbuka.
“Ketika
kami kroscek, semua jawaban peserta muncul hasilnya. Ada empat calon tertinggi
dengan nilai 88 dan 68, sementara lainnya di bawah 67. Bahkan ada peserta yang
hanya benar 47. Dari situ keluar hasil tersebut. Kami dari panitia tetap
membuka ruang mediasi,” terang Sinar.
Sementara
itu, Kaaludin menyebut soal ujian tertulis yang diberikan panitia seleksi
sangat mudah untuk dijawab. Namun, hasil penilaian membuatnya dianggap banyak
salah, padahal ia yakin jawabannya benar. Ia heran bagaimana jawaban yang jelas
sesuai pengetahuan umum bisa dinilai salah oleh panitia.
Kejanggalan
semakin kuat ketika ia mendapat keterangan dari salah seorang panitia langsung
membakar soal dan kunci jawaban setelah ujian selesai, sehingga peserta tidak
memiliki bukti untuk mengajukan keberatan.
Menurutnya,
tindakan itu membuat hak peserta terampas, sebab aturan memberi ruang tujuh
hari untuk mengajukan keberatan bila ditemukan dugaan kecurangan. Ia bahkan
menuding hasil seleksi seolah sudah dikunci sejak awal dengan menguntungkan
salah satu peserta tertentu.
“Kalau semua bukti sudah dimusnahkan, bagaimana bisa membuktikan kalau ada kesalahan? Ini seperti sudah diarahkan sejak awal,” ungkap Kaaludin. (Ast)
0Komentar